Membaca 'ayat suci' dalam Canang I Ratu.
#magamaluh
#kapaktujengriset
Melompat jauh mungkin ke 24.000 ribu tahun lampau. Atau ke abad 19 Masehi. Atau mungkin ke tahun nol. Bahkan selalu ketika bicara agama di masa kini terjebak syarat definisi agama formalisasi kepentingan negara dalam urusan toleran antar agama. Di seluruh permukaan bumi ini beribu-ribu ada agama-agama. Kenyataan keyakinan tumbuh tak henti pada soal kewahyuan dan 'bebas buta huruf'. Jauh lampau di Bali meletakan apa itu Gama Telu. Igama, Ugama dan Agama. Anehnya yang merujuk kesahihan agama dari ayat suci kitab-kitab kini lupa. Akan adanya Igama dan Ugama, dan Agama itu alami pemdangkalan deskripsi dan makna sebab muasalnya Agama bagi Bali lampau adalah hal-hal yang berkaitan antara tindakan religius, relasi manusia dan negara.
Kini ketika perburuan kebebasan atas nama apapun berhadapan dengan fanatisme dalam relasi kompleks. Tampilan sikap religius sering merambat justru pada isyarat dan ekspresi 'keberjarakan' dengan inti kasih.
'Formalisasi agama' dan hadap-hadapan antara rasionalisasi dan 'menstrukturkan' apapun tidak pada konteks agama dalam historik ya adalah lokal dan pribadi karena dasarnya keyakinan. Tabrakan menimbang untung rugi dari cara pikir ekonomi, dari efisiensi dsbnya. Menghasilkan 'relasi ambigu'.
Jika kini soal banten di Bali kadang ditafsir dengan ukuran syarat sejahtera peradaban ekonomik. Cobalah sejenak membaca bagaimana banten itu tak semata 'persembahan dengan label harga' tetapi cobalah baca bagaimana 'ayat suci' itu mengenai apa itu 'pembadanan suci' pada Ugama dan Igama keyakinan keagamaan Bali Kuna. Bacalah pelahan. Mohon maaf jika ini masih prematur. Saya hanya 'pengeresek jagat' ampurayang.
Sumber: FB Cok Sawitri