Batara Samudaya dan Weda Mesambeh


----- Dharma Nusantara memang tak cakap dalam “berfilsafat”. Ia lebih banyak “ngelakoni” dengan sujud bhakti sebagai “jalan”. Bahasa kerennya “bhakti marga”. 
----- Panca yadnya menjadi kesehariannya. Memuliakan alam semesta dengan segala isinya. Menghormati sang atman yang bersemayam di setiap insan manusia. Bakti dan bersaji kepada Guru Suci, Leluhur, Bhatara, Dewa, Sanghyang Widhi. 
----- Dharma Nusantara sujud kepada segala aspek Hyang Tunggal, baik dalam “Pertiwi Akasa” wujud beliau di bumi maupun di jagat raya, sebagai “Batara Samudaya” dengan berbagai sebutan. Entah nama itu tersurat di dalam Weda maupun tidak, seperti Ida Ratu Niang Sakti, Ida Betara Dalem Ped, Sesuhunan Kidul, Ida Betara Luhur Bingin, Ida Betara Maspait, Masceti, Betara Subandar, Melanting, Betara Bukit, Betara Pucak Sari, Ratu Made, Ratu Nyoman, Ulun Danu, Ratu Ayu, Ratu Gede, Sanghyang Ambu, dll. Dipuja sebagai pelindung dan pengayom kehidupan manusia di dunia. 
----- Memang nama-nama itu tak tersurat di dalam Catur Weda maupun Pancamo Weda (Bagawad Gita). Tetapi…, jika saja Weda ditulis di Nusantara, maka nama-nama ini pasti tak akan asing di dalam Weda. 
----- Dharma Nusantara memuja Tuhan secara “Universal” dan “Tak Terbatas”. Tuhan yang tunggal diurai menjadi banyak nama dan fungsi. Yang banyak itu berasal dari satu yang Tunggal.  
---- Lalu… ketika bicara tentang kehidupan sesudah mati, maka roh manusia nusantara akan bebas memilih mau kemana. Mau ke alam leluhur, diterima. Ke alam dewa dan bhatara, dia akan dimuliakan. Mau menyatu dengan Sanghyang Acintya, kenapa tidak. Karena semua sudah dilakoninya tanpa batas. 
----- Dharma nusantara juga tak pernah berdebat sorga, neraka, atau di “planet” mana mereka akan tinggal setelah meninggal. Karena hanya “Karma” yang akan membawa ke tempat yang layak, bukan “Filsafat”.
----- Penganut Dharma Nusantara pun tak mau berpolemik tentang Weda. Karena Dharma nusantara menganut “Weda Mesambeh” yakni ajaran kebajikan yang tersebar di alam semesta. Tidak saja tersurat dalam “lontar” yang merupakan gubahan dari Catur Weda / “Sruti”, bisa juga berupa ajaran kebajikan yang diceritakan secara turun-temurun / “Smerti”. Atau termuat dalam kisah-kisah lampau yang mengandung sejarah dan ajaran kebenaran seperti “Raja Purana, Purana Desa, Purana Pura. Bisa berupa “Itihasa” seperti Mahabarata dan Ramayana serta kisah kehidupan lainnya yang di tampilkan dalam pertunjukan wayang. Termasuk “Upanisad” yakni wejangan dari para orang suci. 
----- Selain itu, kebenaran Dharma Nusantara juga bisa terselip dalam laku budaya, bersenyawa dalam adab, adat, maupun karya seni nusantara, serta tersimpan di dalam hati nurani manusia nusantara yang mumpuni.
----- Jadi kebenaran Dharma Nusantara “tersurat – tersirat - tersebar” di seluruh jagat raya yang disebut “Weda Mesambeh”. Bertaburan bagai biji rumput yang tak kelihatan, namun akan tumbuh menjadi “kesejatian” yang mewarnai peradaban nusantara.
----- Kesahihannya tak perlu didebatkan. Jangan ragu. Keraguan membawa kebingungan. Kebingungan menjadikan kegelapan. Kegelapan akan menjerumuskan.
----- Semeton Buleleng mengatakan “Jeg jalanang deen”, jalani saja. Ampura. 

Gumi Sriat - Sriut, jaman tak menentu. 
#
#OriginalByKandukSupatraKiBuyutDalu2020

Postingan populer dari blog ini

Ong Kara Ngadeg Dan Ong Kara Sungsang

Delusion Scene

Pulau Yang Pelan-Pelan Habis Terjual