Pewaris yang Lupa Rumah Sendiri: Ironi Spiritual di Tanah Leluhur



Di sebuah pulau yang konon menjadi surga terakhir spiritualitas Timur, anak-anak leluhur justru sibuk menekuni yoga dari turis berkaos tanpa lengan, belajar meditasi dari Instagram, dan membeli dupa dari toko oleh-oleh spiritual yang dibuka oleh ekspatriat. Ini bukan sekadar fenomena, tapi sebuah tragedi intelektual dan eksistensial. Warisan luhur yang dahulu diturunkan lewat bisikan sunyi kini dikemas dalam paket wisata spiritual.

Inilah sebuah ironi modern: ketika pewaris warisan budaya justru menjadi murid dari mereka yang baru saja mengenal warisan itu. Sebuah kebanggaan yang dibangun di atas kebodohan kolektif, dianggap wajar, bahkan diagungkan. Kita menyaksikan pergeseran dari pewaris menjadi penonton, dari pelaku menjadi pengikut, dari pemilik makna menjadi konsumen kemasan.

Tak ada yang salah dengan belajar dari luar. Tetapi ketika yang dari luar justru menjadi sumber utama kebenaran, dan yang dari dalam dianggap ketinggalan zaman, maka kita sedang menyaksikan amputasi identitas yang dilakukan dengan penuh tepuk tangan.
Warga lokal kini hidup seperti turis di tanahnya sendiri. Mereka melangkah di pura tanpa memahami filosofi tapak suci, mengucap mantra tanpa rasa, mengikuti prosesi karena takut kualat, bukan karena sadar makna. Di saat yang sama, para tamu asing menari dengan penuh kesadaran dalam kelas yoga yang mereka bayar mahal, sambil menyebut nama-nama dewa yang bahkan tidak dikenali oleh sebagian besar anak muda Bali.

Ketika seorang warga lokal lebih bangga mendapatkan sertifikat "certified yoga teacher" dari organisasi barat, daripada belajar langsung dari praktisi di desanya, maka yang lahir adalah generasi baru spiritual yang tercerabut dari akar.
Kita membayar orang luar untuk menjadi guru spiritual, sementara pemangku di pura masih eksis dengan baju lusuhnya, tanpa upah, tanpa apresiasi, hanya karena keyakinan dan pengabdian. Yang satu datang dengan tiket pesawat dan pengikut, yang satu lagi berjalan kaki menyusuri desa, membawa dupa dan doa yang tak pernah viral.

Mereka yang semestinya dihormati sebagai penjaga nilai kini dianggap kuno, sementara mereka yang baru tiba dan mengemas ulang ajaran lokal dalam bahasa Inggris modern disambut sebagai pencerah.

Kita hidup dalam dunia yang memuja yang datang dari luar. Aksen asing, istilah asing, dan pengakuan asing dianggap lebih tinggi dari pemahaman lokal. Maka tak heran jika warga Bali lebih bangga diajari meditasi oleh guru dari California, dan menyebutnya pencerahan, padahal ajaran itu pernah dibisikkan oleh kakeknya sendiri sebelum tidur.

"Ketika kita lebih percaya pada pengucapan 'Om' dari bibir yang baru mengenal dupa kemarin sore, maka kita patut bertanya, kepada siapa sesungguhnya kita menyerahkan harga diri budaya ini?"
Kita tidak bisa hanya menyalahkan individu. Sistem pendidikan gagal merawat nalar spiritual, dan lembaga budaya sibuk mengejar proyek dokumentasi daripada menyemai makna. Anak-anak lebih diajarkan tanggal upacara, bukan nilai dari upacara itu. Guru spiritual dihargai jika mereka punya followers, bukan jika mereka punya pemahaman.

Sementara itu, dunia akademik sibuk mengkaji kebudayaan lokal dengan metode copy-paste dari jurnal asing, tanpa kemampuan menghasilkan pendekatan baru yang sesuai dengan konteks lokal. Mereka tahu teori Clifford Geertz tapi tidak paham isi lontar tetua sendiri. Mereka bangga menulis dalam jurnal bereputasi, tapi tak sanggup menjawab kegelisahan pemuda yang kehilangan arah identitasnya.

Inilah bentuk tertinggi dari keterasingan: kebodohan yang dibanggakan. Kita bangga menyebut diri spiritual hanya karena pernah ikut retreat, bukan karena memahami keseharian dalam kesunyian. Kita lebih percaya pada youtuber yang baru tiga tahun pindah ke Ubud, daripada tetua yang diam-diam menjaga api suci sejak kecil.

"Kita bangga memakai mala beads dari India, sambil melupakan bahwa nenek moyang kita menanam bijinya sendiri untuk upacara yang kini kita anggap eksotis."
Kita menyebut diri pewaris, tapi lebih sering berperilaku seperti turis. Kita mengagungkan sesuatu karena label asingnya, dan malu mengakui sesuatu karena lekat dengan warisan sendiri.

Mungkin sudah saatnya kita tidak hanya membuka mata ketiga, tapi juga membuka mata pertama dan kedua. Melihat bahwa rumah spiritual kita bukan tempat selfie, melainkan tempat bertumbuh yang telah lama kita tinggalkan. Tidak cukup hanya menyalahkan dunia luar. Kitalah yang membuka pintu, dan membiarkan isi rumah kita diatur oleh tamu.

Karena menjadi pewaris sejati bukan soal darah, tapi soal kesadaran. Dan kesadaran tidak dibeli dari luar. Ia tumbuh dari diam, dari mendengar, dan dari belajar kembali untuk menghormati rumah sendiri.Dan selama kita masih merasa perlu membayar orang luar untuk menjadi guru di rumah sendiri, selama itu pula kita bukan tuan rumah dari kebudayaan kita sendiri.

Ketika Pewaris Meragukan Warisannya Sendiri

Ironisnya, mereka yang terlahir sebagai pewaris sah dari tradisi agung seperti yoga, meditasi, dan tantra justru menjadi yang paling meragukannya. Mereka menggantungkan legitimasi praktik-praktik luhur ini pada apa yang disebut “sains modern.” Padahal, tradisi itu lahir bukan dari laboratorium, tetapi dari ribuan tahun penghayatan batin yang subtil.

Kini, yoga dan meditasi tidak lagi dilakukan sebagai jalan sunyi menuju pembebasan, tetapi dibicarakan dalam seminar sebagai "teknik manajemen stres". Tantra tidak lagi dipraktikkan sebagai proses penyatuan jiwa dengan semesta, tetapi dijadikan topik diskusi dalam obrolan warung kopi sambil membicarakan energi, frekuensi dan vibrasi ala Tesla yang bahkan tak pernah menulis kitab yoga.

Pewarisan budaya bergeser menjadi wacana. Pewaris menjadi komentator. Tradisi menjadi bahan studi literatur. Mereka sibuk memverifikasi ajaran leluhur lewat paper, jurnal, dan Google Scholar, sementara pemangku di pura masih setia duduk bersila dengan baju lusuhnya, menyalakan dupa sebagai jembatan sunyi antara manusia dan semesta.

Lebih parah lagi, mereka menyebut praktik leluhur itu "kuno" jika tak sesuai dengan retorika kuantum. Segala sesuatu harus berbicara dalam bahasa energi, vibrasi dan frekwensi, meski mereka sendiri tak pernah memahami bahwa leluhur sudah hidup dalam tataran energi tanpa perlu menyebutnya demikian.

Di sinilah letak kebodohan modern yang berbalut gelar Spiritualis yang meyakini sesuatu hanya ketika dibenarkan oleh ilmu asing, sambil melupakan bahwa dirinya adalah rumah asal dari semua kebijaksanaan itu.

FB Arya Putra

Postingan populer dari blog ini

Walter Russell: The Visionary Behind Light and Consciousness

Suargaloka, Narakaloka DAN Mokshaloka

Program Anak Agung Gede Ngurah Agung Untuk Menjadi Bupati Badung