Ageman Tirta
NAK MEAGAME TIRTHA
Agama Hindu di Bali memang berbeda dengan agama Hindu di berbagai belahan dunia manapun, dengan tanah India sekalipun, Hindu di Bali memang berbeda. Dan tak usah jemu ataukah ragu untuk memberi penjelasan keindahan perbedaan itu, awalnya memang, agama Hindu di Bali menyebut dirinya sebagai "Agama Tirtha" - bahkan ada menyebut dengan "Agama Wali". Wali sebutan lain dari Bali, yang artinya Banten; Persembahan. Sebab kepercayaan leluhur orang Bali meyakini pulaunya ini, tanah yang ditempatinya adalah berasal dari kampar raksasa yang dipenuhi bunga. Menyebut agamanya sebagai agama Tirtha, sebab tak ada upacara di Bali yang tidak menggunakan air, lahir, hidup sampai mati berhubungan dan tergantung kepada air.
"Tirtha ngaran Amrtha" dalam kitab Paniti Agama Tirtha telah dituliskan dan menjadi dasar keyakinan; Tirtha adalah hidup. Hidup adalah air. Air adalah kehidupan. Sementara dlam Kitab Agama Tirtha: "U" ngaran uddhakam ngaran gangga, ngaran tirtha suci. Uddhaka dari bahasa Sansekertanya yang artinya laut. Fungsi laut dalam agama Hindu di Bali, sampai kini, sebagai tempat penyucian juga tempat pelebur segala 'mala' dalam diri. Jadi tak cuma tubuh (badan kasar yang sepatutnya dibersihkan), badan halus itu pun harus dibersihkan dari kekotorannya (mala: letuh, dst). Namun pengertian Tirtha tidaklah cuma mengacu pada air suci, tetapi juga tempat suci, mata air, permandian, bahkan tempat-tempat yang jika dilewati harus diseberangi. Pengertian tirtha sungguhlah luas, karena itu dikenal apa yang disebut tirthayatra, ini ditemukan pada awalnya di kitab sarasmuscaya artinya pergi berkeliling dengan 'niat suci' mengunjungi tempat-tempat suci.
Kini banyak orang berdatangan untuk berlibur di akhir tahun, tentu saja proses sembahyang orang Bali dimata mereka; mungkin eksotik, mungkin unik, juga sekaligus penuh tanya. Saat sembahyang orang Bali akan melakukan tindakan malukat dan matirtha, dua jenis air suci ini disebut sebagai Tirtha pembersih, tak hanya dirinya yang diperciki air suci, tetapi juga banten (sajen) yang akan dipersembahkan, tirtha ini dibuat oleh Sulinggih, para pendeta, yang setiap pagi hari akan melakukan suryasewana, puja pagi yang berlanjut dengan proses pembuatan tirtha pembersih; tidaklah oleh sembarang membuat tirtha ini, dan juga tidak dari bahan-bahan yang sembarangan. Kadang, jika saya pulang kampung saya senang menunggu usainya puja pagi itu, dan memperhatikan betapa indahnya proses itu; ada dhupa, ada dipa, purusa prdhana; keduanya berunsur api, kemudian air yang diambil dan diharumi, proses 'kumkum' yang dengan bahasa sederhananya adalah menangkap keharuman dari asap lalu menyimpannya dalam air.
Jika air itu telah dituangkan dengan puja mantra maka akan sayup terdengar pemanggilan nama Gangga, kemudian kuta Mantra, lalu berbagai bunga akan silih berganti seolah ditaburkan ke sebuah tempat yang namanya Siwambha, setelah itu proses menulisi air dengan bunga. Ada huruf-huruf suci yang dituliskan dengan sangat rahasia. Maka itulah tirtha itu tidak sembarangan air. Jika memperhatikan sembahyang, usai melakukan puja bakti, maka akan kembali dipercikan air suci; ini adalah anugrah dari btara-btari; disebut wangsuhpada.
Ya, banyak benar jenis tirtha, dan karena itu mungkin dahulu mereka menyebut diri mereka; penganut agame tirtha.
Dan tentu saja, jika pergi merantau, tak ada sulinggih, tak pinandita, tak ada pendeta, orang bali dibekali tentang bagaimana memohon kepada surya untuk tirtha pembersih ini, dan jika ingin yakin; boleh mulai menghapal mantra pengurip; artinya semua bahan persembahan disucikan dan dihidupkan kembali.
Sebab tentu tidaklah elok jika mempersembahkaan buah, bunga, atau apa saja; pbila dianggap sebagai benda mati. Maka dilakukan mantra pangurip. Setelah itu memohon kepada surya untuk memberi air suci; sebagai pelukatan juga sebagai tirtha pembersih...... dan teringat sebentar tahun baru, dan tahun-tahun adalah tahun-tahun yang penuh, semoga dimasa depan, segala pertanyaan tentang perbedaan keyakinan, tidak memicu kesalahpahaman, tetapi alangkah indah; mari menjelaskan, dan yang lain bersiap mendengarkan penjelasan; sehingga walau tidak dalam satu keyakinan, akan bisa mengerti tentang perbedaan itu. Berbeda itu, memang indah, bila ada kemauan saling memahami; asalkan ada yang selalu sabar memberi penjelasan, sebab salah paham akan berujung dengan sikap-sikap yang tidak menyenangkan.
Sumber dari Yang di-Pertuan Angin Lilush