Pelajaran Rahasia
Ia menunduk dengan rasa gundah mendalam. Putus asa bertanya pada langit dan bumi.
"Wahai Sang Maha Sunyata, apa sesungguhnya yang sedang terjadi di kehidupan bumi ini? Masa-masa sulit ini begitu lama berlalu. Kesakitan dan kematian terus mengintai. Seperti tak ada lagi jalan keluar."
"Siapakah sesungguhnya yang salah? Siapakah yang pantas disalahkan? Apa yang sedang Engkau ajarkan padaku, wahai semesta. Biarlah setidaknya dalam keputusasaan ini, bisa kupahami pelajaran-Mu."
Sejenak keheningan menjeda kegundahannya. Sampai sebuah suara terdengar lembut menyapa. Suara yang lama diakrabinya.
"Anak-Ku, tak ada yang salah di antara kalian. Kehidupan hanya sedang berjalan apa adanya. Dan kalian sendiri hanya sedang sibuk untuk saling menyalahkan satu sama lain."
"Sesungguhnya saat ini kalian hanya sedang bersama-sama berhadapan dengan musuh terbesar umat manusia, yakni rasa takut. Rasa takut untuk menerima tiga bekal kehidupan yang sudah menjadi keniscayaan; duka, lara dan kematian."
"Ketika bekal duka, lara dan kematian tiba untuk menyapa kalian secara bersamaan, di situlah kalian terjebak dalam berbagai rasa takut. Akhirnya kalian saling menyalahkan demi mengatasi rasa takut kalian sendiri."
"Rasa takut yang sama itu telah berubah menjadi berbagai wajah. Ada rasa takut menjadi sakit. Ada rasa takut dijemput kematian. Ada rasa takut terjadinya kemiskinan, kelaparan, kehilangan pekerjaan, kehilangan kenyamanan."
"Berbagai wajah rasa takut itu menyergap masing-masing dari kalian. Lalu kalian berharap orang-orang lain membantu kalian melenyapkan jenis rasa takut dalam diri kalian."
"Sayangnya, setiap upaya kalian mengatasi wajah rasa takut yang satu, akan menyeramkan wajah rasa takut yang lainnya. Ketakutan mati kelaparan, mendekatkan kalian pada ketakutan akan serangan penyakit. Ketakutan akan penyakit, mendekatkan wajah ketakutan akan kemiskinan, kehancuran, kelaparan."
"Kalian seperti terjebak di antara hutan yang dipenuhi wajah singa, di depan sungai dipenuhi buaya, di pepohonan penuh ular melingkar, di tanah berpijak penuh lintah pengisap darah. Kalian sedang terjebak dalam kebingungan seperti itu. Diam terasa salah, melangkah juga terasa penuh ancaman."
"Nah, terjebak bersama-sama dalam situasi itulah yang menciptakan hasrat untuk saling menyalahkan sesama. Sebab kalian tidak bisa menyalahkan keadaan. Tidak pula berani menyalahkan semesta-Ku."
Dia terus menunduk, membiarkan suara itu meneruskan kata-katanya.
"Kalian segera gundah, gelisah, mengeluh saat kehidupan menghadirkan masa penderitaan dalam beberapa waktu bagi kalian. Sedangkan kalian, umat manusia, bahkan sepanjang waktu dengan sadar atau tak sadar, terus menghadirkan penderitaan bagi kehidupan ini. Namun kalian menikmatinya."
"Kalian menciptakan penderitaan dunia dengan peperangan. Menciptakan penderitaan dengan pertikaian. Atau dengan menghancurkan alam demi kebutuhan diri tanpa sempat merawatnya kembali. Dan kalian menikmati semua itu."
"Kini saat bumi sendiri menghadirkan penderitaan dalam kehidupan kalian, segera kegundahan mengisi batin kalian. Renungkanlah anak-Ku."
"Duka, lara dan kematian ini sedang mengingatkan kalian lewat berbagai wajah rasa takut itu. Bahwa kehidupan ini terlalu berharga untuk kalian sia-siakan. Entah takut oleh kematian, kesakitan, kelaparan, kemiskinan atau lainnya, semua itu sedang mengingatkan pentingnya menjaga bumi dan kehidupan ini, demi kenyamanan kalian sendiri selama berada di sini."
"Renungkanlah anak-Ku. Renungkanlah. Kelak saat kalian sudah menyadari pelajaran semesta ini, di situ semua akan kembali seperti sedia kala. Masuklah ke dalam. Karena jalan keluar ada di sana."
Pesan terakhir itu lenyap kembali pada keheningan. Ia hanya bisa menatap cermin. Mengamati dirinya sendiri.
Mustika wayan.