Menjadi wiraswastawan dari sekolah atau pengalaman?


Entrepreneurship? 

Dapatkah Dimediasikan Oleh Sekolah Bisnis?

Entrepreneurship,
Dapatkah Dimediasikan Oleh Sekolah Bisnis?
(Ditulis oleh Safitri Siswono, ST, MM)
Dimuat pada: Forum Manajemen Prasetiya Mulya No. 91, Year XXI, April 2007.

Abstrak
Pada era pasca krisis di Indonesia, terjadi euphoria berkaitan dengan Entrepreneurship. Trend ini diikuti dengan tumbuhnya sekolah-sekolah bisnis di tanah air, bahkan ITB yang notabene selama ini adalah penghasil Sarjana Teknik, ikut mendirikan sekolah bisnis dan manajemen.
Entrepreneur memang terlihat sebagai suatu profesi yang sangat “kinclong”. Apalagi kalau kita lihat daftar empat puluh orang terkaya di Indonesia versi Forbes tahun 2006, semuanya adalah Entrepreneur. Banyak dari mereka pun yang memulainya dari nol, dan sekarang sudah menjadi raksasa industri yang mampu menyediakan lapangan kerja luas bagi masyarakat Indonesia.
Tulisan ini membahas bagaimana sekolah bisnis dapat menjadi mediasi untuk melahirkan Entrepreneur yang handal. Atau, apakah sebetulnya hal ini hanya semata-mata proses yang random belaka?



I. Pendahuluan

Krisis ekonomi yang melanda Indonesia di akhir era 90an lalu, menyebabkan banyak raksasa industri yang tumbang. Kelihatannya hal tersebut membuka mata pemerintah berkaitan dengan timpangnya struktur usaha yang terlalu memihak pada industri besar. Menariknya, pada era pasca krisis justru terjadi euphoria berkaitan dengan pengembangan usaha kecil dan menengah. Banyak usaha pemerintah, terutama dana, yang dicurahkan untuk pengembangan sektor ini, seperti kredit lunak dari Bank Pemerintah dan program pendampingan usaha.

Makin maraknya dunia Entrepreneurship ini memang patut untuk didukung, karena merekalah yang menggerakan roda perekonomian suatu negara. Berdasarkan data BPS 2005, sektor UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah) mampu menyerap 96% angkatan kerja di Indonesia, dengan menyumbang lebih dari 54% PDB Nasional. Selain itu kita juga harus mempertimbangkan pentingnya peranan para Entrepreneur yang telah berhasil menjelma menjadi raksasa Industri secara mandiri, seperti Rachman Halim (Gudang Garam), Eddy William Katuari (Wings), Boenjamin Setiawan (Kalbe) dan Arifin Panigoro (Medco).

Jika peranan Entrepreneur ini sangat penting bagi suatu negara, apakah mereka ini bisa diciptakan? Apakah seni dan ilmu Entrepreneurship ini bisa diajarkan? Ataukah kelahirannya hanya merupakan suatu kebetulan, dan sukses atau tidaknya para Entrepreneur ini hanya merupakan suatu proses yang random?

Kenyataannya, Entrepreneurship telah menjadi salah mata kuliah penting di sekolah-sekolah bisnis ternama di Amerika Serikat (AS), seperti MIT Sloan, Kellogg, Stanford dan Harvard. Apakah juga akan menjadi bagian dari sekolah bisnis di Indonesia? Sebenarnya, bagaimanakah proses entrepreneurial itu?


II. Faktor yang Mempengaruhi Proses Entrepreneurial

Adanya seorang entrepreneur terjadi dari suatu proses yang dipengaruhi oleh banyak faktor. Proses lahirnya Entrepreneur baru diawali dengan munculnya suatu ide atau inovasi. Namun hanya seorang yang memiliki kondisi pemicu khusus lah yang akan mengimplementasikannya, dan tidak semua inovasi yang diimplementasikan dapat berkembang. Hal-hal tersebut sangat ditentukan oleh tiga faktor, yaitu Personal, Sosial dan Lingkungan. Proses entrepreneurial dan faktor-faktornya dijabarkan dalam Gambar 1 berikut ini.

http://reflow.scribd.com/5yy9h63w009b0as/images/image-16.jpg

Gambar 1. Model Proses Entrepreneurial
(Sumber: Carol Moore’s Model, ”Academy of Management Best Papers Proceedings”, 1986)


Innovation, atau Inovasi, yang dimiliki oleh seseorang belum tentu akan diwujudkan menjadi suatu bisnis. Hal ini tergantung dari faktor-faktor, seperti prospek karir di tempat lain, keluarga, role model, keadaan ekonomi, ketersediaan sumber daya, dan sebagainya. Contohnya, Alexander Fleming menemukan penicillin namun tidak pernah mengembangkannya menjadi suatu obat yang berguna. Barulah 10 tahun kemudian, Ernst Chain dan Howard Florey menggunakannya untuk mengobati pasien di Perang Dunia II. Sekarang kita ketahui bahwa Penicillin merupakan salah satu terobosan fenomenal dalam dunia farmasi. Fleming memang penemunya, namun dibutuhkan seorang Entrepreneur untuk mengembangkannya.

Triggering Events, atau kondisi pemicu, selalu terjadi sebelum lahirnya seorang Entrepreneur. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mu’minah (MTI-ITB, 2001) atas 8 orang pengusaha paling sukses di Pangandaran, menunjukkan bahwa semua pengusaha tersebut memulai usahanya karena keterpaksaan. Di sisi lain, banyak juga yang menjadi Entrepreneur karena meneruskan usaha keluarganya, seperti Eddy William Katuari (Wings). Sedangkan Abung Sulyan Syarief adalah seorang karyawan perusahaan, saat menyadari bahwa karirnya mentok dan bertekad merintis bisnis sendiri. Tahun 2006, perusahaannya yang bergerak di bidang merchandising, PT. Purnamajaya Bakti Utama, terpilih menjadi salah satu The Best Enterprise-50 versi majalah SWA.

Implementation dari suatu ide merupakan hal yang sangat penting dalam membangun usaha. Contohnya mengenai software house yang tumbuh menjamur di negeri ini, namun software pendidikan yang dikembangkan PT. Pesona Edukasi, pimpinan Hary Sudiyono, memang istimewa. Salah satu produknya, Pesona Fisika, bahkan digunakan pada program matrikulasi Jurusan Fisika di Stanford University, AS.

Growth, atau pertumbuhan, dari suatu perusahaan tergantung dari faktor internal dan externalnya. Pada era 90’an, perusahaan banyak menggunakan hutang untuk mengembangkan usaha mereka. Namun hal ini menuai bencana, saat krisis finansial tahun 1997 menerpa Asia. Pada saat itu, Trihatma Haliman (Podomoro) justru meraup untung dengan memborong aset-aset BPPN. Hal ini dapat dilakukan karena Podomoro biasa berbisnis dengan modal sendiri, sehingga tidak terlilit hutang pada saat itu, dan cukup liquid untuk membeli aset. Setelah krisis berlalu, Podomoro semakin menguatkan posisinya sebagai raja properti di Indonesia.

Sebenarnya, faktor apakah yang akan mempengaruhi seseorang untuk memilih karir sebagai Entrepreneur? Bahasan untuk pertanyaan ini, akan menggunakan pendekatan dari atribut personal, lingkungan dan faktor sosial lainnya.


II.1. Faktor Atribut Personal

Studi pada tahun ’90an di Inggris menemukan bahwa Entrepreneur memiliki ”internal locus of control”, dan bukan ”need for achievement”, yang lebih tinggi dari Nonentrepreneur. Bygrave (1997) menyimpulkan bahwa karakter penting yang ada pada Entrepreneur sukses adalah seperti pada Tabel 1 berikut, dan disebut 10 D.

Dream
Entrepreneur adalah pemimpi yang mampu mengimplementasikan mimpinya.


Decisiveness
Entrepreneur mampu membuat keputusan dengan cepat, dan tidak menunda-nunda pekerjaan.

Doers
Entrepreneur secara cepat bertindak untuk mengimplementasikan keputusannya.


Determination
Entrepreneur tidak mudah menyerah.


Dedication
Entrepreneur memiliki komitmen yang sangat tinggi terhadap usahanya. Sering kali mereka bekerja 12 jam per hari, 7 hari per minggu, untuk membuat usahanya berhasil.


Devotion
Entrepreneur mencintai bisnis mereka.


Details
Entrepreneur memiliki perhatian ke detail yang sangat tinggi.


Destiny
Entrepreneur merasa dapat menentukan nasibnya sendiri.


Dollars
Entrepreneur memandang uang bukan sebagai motivasi utama, melainkan ukuran keberhasilan mereka.


DistributeEntrepreneur membagikan kepemilikan usahanya kepada karyawan inti yang sangat menentukan kesuksesan usaha tersebut.

Tabel 1. Karakter 10 D

II.2. Faktor Lingkungan
Role model, baik dalam keluarga maupun pekerjaan, merupakan faktor lingkungan yang paling penting dalam membentuk Entrepreneur. Karena itu sering kita lihat, banyak pengusaha sejenis terkumpul di suatu daerah. Seperti misalnya di dalam negeri adalah daerah Jepara dengan industri furniture kayunya, dan di AS adalah Silicon Valley dengan high-tech entrepreneursnya.

Di Babson College, AS, lebih dari 50% mahasiswa yang mengambil mata kuliah Entrepreneur berasal dari keluarga pengusaha. Sedangkan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sulasmi (MTI-ITB, 1989) terhadap 22 orang pengusaha wanita di Bandung juga menunjukkan bahwa 13 diantaranya memiliki keluarga pengusaha (orang tua, suami, atau saudara pengusaha). Namun Bill Gates, salah satu Entrepreneur paling sukses di muka bumi ini, berasal dari keluarga pengacara dan bukan pengusaha.

Di AS pada era 80 dan 90’an, MIT diyakini merupakan universitas penghasil Entrepreneur paling banyak di negara tersebut. Bahkan pada tahun 2007 ini, sekolah bisnis MIT Sloan membukan program khusus MBA Entrepreneurship and Innovation dan bukan hanya mata kuliah lagi.


II.3. Faktor Sosial Lainnya.

Tanggung jawab keluarga merupakan faktor yang sangat penting dalam mempengaruhi keputusan seseorang untuk menjadi Entrepreneur. Lebih mudah bagi seorang lajang yang berusia 25 tahun untuk memulai bisnis, dibandingkan dengan seorang suami berusia 45 tahun dengan 2 anak dan istri yang tidak bekerja. Majalah SWA dalam riset yang dilakukan untuk penyaringan Enterprise-50 tahun 2006, juga menemukan bahwa semakin banyak Entrepreneur yang merintis usahanya sejak awal usia 20-an. Sedangkan beberapa tahun sebelumnya, lebih banyak yang menimba ilmu secara profesional terlebih dulu dan kemudian terjun pada usia 40-an. Usia berapa yang paling tepat sesungguhnya adalah trade-off antara pengalaman (seiring bertambahnya usia) dengan energi optimisme (yang ada pada jiwa muda).

Pada saat menjalankan bisnis, tidak semua Entrepreneur memiliki kemampuan manajemen yang baik. Baik dalam hal keuangan, hukum, maupun pemasaran. Di AS, pemerintah maupun institusi pendidikan di setiap negara bagian memiliki Inkubator Bisnis yang fungsinya bukan hanya kantor dengan sewa rendah, namun juga memberikan konsultasi dan asistensi bisnis secara gratis.


Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi proses entrepreneurial ini dapat dimediasikan oleh sekolah bisnis? Mungkin, iya. Dengan adanya sekelompok orang yang memiliki ketertarikan sama terhadap Entrepreneurship, dapat menjadi ajang penggodokan untuk melahirkan inovasi yang lebih matang. Jika ada seseorang dari kelompok tersebut kemudian menjadi Entrepreneur yang sukses, hal ini akan memacu anggota lainnya. Adanya mata kuliah Entrepreneurship di sekolah bisnis juga akan membantu melahirkan Entrepreneur dengan intelektualitas tinggi, dan diharapkan dapat membangun suatu enterprise yang lebih baik.


III. Mengevaluasi Prospek Bisnis Baru

Jika kita menemukan suatu inovasi untuk bisnis baru, bagaimana cara kita mengevaluasi prospek tersebut? Atau bagaimana pihak independen yang terkait, seperti calon investor dan kreditor, akan menilai tingkat kesuksesan prospek bisnis tersebut?

Ada tiga komponen yang penting dalam mengevaluasi prospek bisnis, yaitu Kesempatan, sang Entrepreneur sendiri dan Sumber Daya yang tersedia. Semuanya mengandung ketidak pastian. Di sini dibutuhkan suatu Rencana Bisnis yang mantap untuk mengantisipasi ketidak pastian usaha tersebut. Secara ideal, resep untuk membangun bisnis baru yang sukses adalah kepiawaian tim manajemen dan prospek pasar yang masih sangat besar.

Sekolah bisnis dapat berperan untuk mengajarkan teknik dan metode evaluasi pasar, manajemen yang baik serta berperan sebagai moderator untuk interaksi dengan para Entrepreneur pendahulu. Hal ini diyakini dapat memberikan inspirasi dan mengasah ketajaman Entrepreneur baru dalam membaca prospek pasar.


III.1. Kesempatan
Kepercayaan bahwa suatu bisnis baru haruslah unik, tampaknya tidak relevan. Suatu ide yang bagus dapat muncul di pikiran beberapa orang di seluruh dunia secara bersamaan. Berdasarkan referensi, Darwin hampir didahului oleh Wallace dalam mempublikasikan teori mengenai evolusi, dan Poincaré memformulasikan teori relativitas pada saat yang hampir bersamaan dengan Einstein.

Kesempatan untuk menjadi Entrepreneur membutuhkan lebih dari ide brilian, kemampuan untuk mengeksekusi ide dengan membaca kebutuhan customer, peluncuran pada timing yang tepat dan manajemen yang baik akan membuat suatu usaha dapat berkembang. Contohnya, J.Co. Kita tidak dapat mengatakan bahwa J.Co adalah suatu ide yang original. Kemiripan produk, layanan, design outlet serta target pasar dengan Krispy Kreme tidak dapat dipungkiri. Namun kemampuan Johnny Andrean dalam membaca peluang pasar memang luar biasa. Banyaknya masyarakat kalangan atas di kota besar yang pernah tinggal atau berkunjung keluar negeri, khususnya AS, membuat popularitas J.Co ini mudah diangkat karena sangat mengingatkan mereka kepada Krispy Kreme. Namun yang lebih fenomenal, adalah kemampuan J.Co untuk melakukan marketing mouth to mouth, dengan menciptakan antrian luar biasa di setiap outletnya. Walaupun banyak pihak yang mengatakan bahwa antrian tersebut sesungguhnya adalah aktifitas promosi yang diorganisir, setidaknya pada permulaan, namun waktu telah membuktikan bahwa ”It Works!”.

Apakah Johnny Andrean pernah mengambil mata kuliah Entrepreneursip? Mungkin tidak. Namun dia membutuhkan waktu bertahun-tahun berkecimpung di dunia retail, sampai akhirnya menemukan strategi marketing yang jitu seperti contoh di atas. Proses inilah yang diharapkan dapat dipercepat dengan adanya sekolah bisnis dan Entrepreneurship.


III.2. Sang Entrepreneur
Inovasi yang baik akan sukses jika diimplementasi oleh seseorang dengan kemampuan entrepreneurship dan manajemen yang baik. Apa sajakah kemampuan yang idealnya dibutuhkan?

Pertama, berpengalaman di industri yang relevan. Tidak ada istilah ”on the job training” dalam entrepreneurship. Suatu kesalahan dapat menyebabkan biaya yang tidak sedikit. Maka, jika perintis bisnis ini tidak memiliki pengalaman yang relevan, sebaiknya mencari partner yangmemilikinya.

Kedua, pengalaman manajemen. Terutama dalam hal pengaturan anggaran keuangan, profit, laba rugi dan pemasaran.

Kisah sukses J.Co memang menguatkan Johnny Andrean sebagai pengusaha retail yang sukses. Terbukti juga dengan usaha-usaha retail sebelumnya, seperti Bread Talk dan Salon Johny Andrean.


III.3. Sumber Daya
Entrepreneur harus sangat berhati-hati dalam penggunaan sumber dayanya, karena pada umumnya bersifat terbatas. Caranya dengan menekan overhead, produktifitas yang tinggi dan minimalisasi kepemilikan capital asset.

Efektifitas penggunaan sumber daya dirancang berdasakan faktor penting bagi bisnis yang bersangkutan. Contohnya, jika berbisnis retail maka lokasi menjadi faktor yang paling penting. Dana pun harus dialokasikan lebih untuk mendapatkan lokasi yang terbaik. Hal ini juga mendasari pemilihan lokasi Starbuks di Indonesia, yang sebagian besar berada di mall. Mall dianggap adalah lokasi yang paling tepat untuk menarik customer kedai kopi, walaupun harga sewanya jauh lebih mahal.

Hal penting lainnya dalam manajemen sumber daya ini adalah keputusan untuk Buy/ Make. Pada suatu perusahaan manufacturing, pekerjaan design untuk packaging yang sifatnya tidak rutin dan tidak rahasia akan lebih efektif jika disub kontrakan. Dengan demikian tidak ada overhead yang dikeluarkan, seperti payroll, graphic software, dsb, untuk mempekerjakan designer tersebut.

Setelah mematangkan inovasi, menaksir kebutuhan sumber daya untuk berkembang, membuat rencana bisnis dan menghitung kebutuhan modal. Maka selanjutnya adalah bagaimana cara mendapatkan modal tersebut?

Modal dapat diperoleh dari hutang dan ekuitas. Dengan hutang, entrepreneur tidak perlu membagi kepemilikan perusahaan. Namun harus mampu mengembalikan pokok hutang beserta dengan bunganya. Dengan masuknya ekuitas pihak lain, entrepreneur harus membagi kepemilikannya. Namun ekuitas tersebut tidak perlu dikembalikan jika perusahaan belum mengalami keuntungan.

Kenyataannya perusahaan baru sulit untuk mendapatkan hutang, maupun ekuitas dari pihak independen. Maka biasanya mereka menggunakan ekuitas sendiri yang berasal dari tabungan pribadi maupun keluarga.

Steven Jobs dan Stephan Wozniak memulai usaha mereka, Apple, di garasi rumah orang tua Jobs dengan modal awal US$1,300. Modal ini diperoleh dari penjualan mobil Volkswagen Jobs dan Calculator Wozniak. Saat membutuhkan modal tambahan untuk ekspansi bisnis, mereka mencoba ke beberapa pihak dan ditolak. Sampai kemudian mereka bertemu dengan Armas Markkula, Jr., seorang pensiunan dari Intel, yang melihat besarnya potensi Apple. Markkula menginvestasikan dana pribadinya di Apple, menyusun suatu rencana bisnis komplit dan mengusahakannya mendapat kucuran dana dari Venture Capitalist pada tahun1977. Selanjutnya Apple berkembang, dan menjadi fenomena sendiri di industri high tech dunia.

Selanjutnya, setelah mendapatkan modal usaha, usaha itu sendiri harus dapat menghasilkan profit yang cukup setidaknya untuk memberikan penghasilan pada entrepreneur secara layak. Jika seseorang meninggalkan pekerjaan tetapnya dengan gaji Rp.10 juta perbulan untuk memulai suatu usaha, maka idealnya usaha itu dapat menghasilkan profit yang mampu memberikan penghasilan setidaknya Rp.10 juta per bulan juga untuk orang tersebut. Disamping itu, profit juga harus dihasilkan untuk memberikan return terhadap investasi yang telah dilakukan.

Kadangkala pada suatu bisnis, menghasilkan profit di atas kertas namun menunjukan cash flow yang negatif. Hal ini sangat mungkin terjadi, karena cash flow yang dihasilkan tidak cukup untuk menunjang perkembangan bisnis tersebut yang membutuhkan peningkatan modal kerja dan aset jangka panjang seperti mesin dan pabrik. Karena itu, suatu bisnis yang berkembang harus berhati-hati dalam mengatur cash flow nya.


IV. Resep Keberhasilan Entrepreneurship
Bygrave (1997) memformulasikan resep keberhasilan suatu perusahaan baru menjadi 9 F berikut ini.

Founders
Perusahaan baru yang mampu berkembang, tentunya dilahirkan oleh seorang Entrepreneur yang berbakat. Bakat ini adalah bawaan, namun dapat distimulasi, sehingga muncul secara optimal pada diri seseorang.


FocusedPerusahaan baru menggarap pasar secara fokus.


FastCepat dalam mengambil keputusan dan mengimplementasikannya.


FlexibleMemiliki pikiran yang terbuka dan mampu merespon perubahan dengan baik.


Forever - Innovating
Tidak pernah kehabisan ide dan berinovasi.


Flat
Memiliki organisasi yang ringkas.


FrugalMemangkas biaya dengan cara menekan overhead dan meningkatkan produktifitas.


FriendlyRamah kepada customer, supplier dan karyawan.


FunKesenangan inilah yang menyebabkan masalah menjadi tantangan, dan bekerja menjadi tidak melelahkan.

Tabel 2. Resep Keberhasilan 9 F


V. Kesimpulan

Proses Entrepreneurial dapat dimediasikan oleh institusi pendidikan. Karena institusi ini dapat menjadi inkubator yang bukan hanya mematangkan ide, namun juga media tempat bertemunya innovasi, tim manajemen dan modal. Sehingga dapat memunculkan bakat seseorang secara optimal. Selain itu, dengan ilmu yang cukup, diharapkan dapat melahirkan Entrepreneur dengan intelektualitas tinggi, yang mampu membangun suatu enterprise yang lebih baik.

Entrepreneurship dapat diajarkan. Sehingga seseorang yang memiliki ketertarikan untuk membangun usaha sendiri mengetahui metodologi serta proses-proses yang harus dihadapinya. Namun dengan analogi bahwa semua orang bisa belajar bermain sepak bola, namun tidak semua bisa menyamai David Beckham. Maka dalam hal ini juga berlaku, bahwa orang yang mempelajari dan melakoni Entrepreneurship dengan tekun, tidak terjamin akan menjadi seorang Bill Gates.

Adanya mata kuliah Entrepreneurship di sekolah bisnis di Indonesia, tergantung pada kondisi ekonomi negara. Jika kondusif bagi entrepreneurship, dan semakin banyaknya kebutuhan untuk menciptakan Entrepreneur dengan intelektualitas yang tinggi, tentunya peran sekolah bisnis untuk membantu mewujudkannya menjadi penting.


Daftar PustakaWilliam D. Bygrave, “Portable MBA in Entrepreneurship”, 2nd Ed., John Wiley & Sons, Inc., 1997.
Keri Susanto, Bagja Hidayat, “Melesat Setelah Krisis”, Tempo, Edisi 25 September - 1 Oktober 2006.
Metta Dharmasaputra, “Setingkat Di Atas Liem”, Tempo, Edisi 25 September - 1 Oktober 2006.
Sudarmadi, “Parade 50 Entrepreneur Kinclong”, SWA sembada, Edisi 20 Desember 2006 – 3 Januari 2007.
Mu’minah, I. 2001. Mempelajari Tarikan Pasar di Pangandaran. Tesis Magister Program Studi Teknik dan Manajemen Industri. Institut Teknologi Bandung.
Stefanus Osa Triyatna, “Banyak Program, Penyerapan Rendah. Investasi UMKM Semakin Meningkat”, Kompas, Edisi 11 Agustus 2006.
Sulasmi. 1989. Karakteristik 22 Pengusaha Wanita di Bandung. Tesis Magister Program Studi Teknik dan Manajemen Industri. Institut Teknologi Bandung.


Tentang PenulisSafitri Siswono, ST., MM adalah alumni Prasetiya Mulya Business School, Program Eksekutif Muda Angkatan 8. Pernah bekerja di PT. Unilever Indonesia, Tbk dengan posisi terakhir sebagai Business Development Manager. Tahun 2004, mendirikan perusahaan yang bergerak di bidang consumer foods, PT. Ciptafood Makmur Mandiri. Selain itu, juga memimpin dan memiliki perusahan investasi PT. Arthaguna Ciptasarana. 



klik untuk SUMBER


Postingan populer dari blog ini

Ong Kara Ngadeg Dan Ong Kara Sungsang

Delusion Scene

Pulau Yang Pelan-Pelan Habis Terjual