Membangun bisnis keluarga
PT. Milik Keluarga.
Dinamika, Profesionalisme dan Suksesi
(ditulis oleh Safitri Siswono, ST, MM)
Abstrak
Bisnis Keluarga di Indonesia memiliki peran yang sangat penting, bahkan diperkirakan menyumbang Produk Domestik Bruto lebih dari 80%. Keberhasilan bisnis yang mereka rintis dan pertahankan dapat mengangkat derajat suatu keluarga, namun dinamika yang terjadi sering kali menghasilkan konflik yang dapat memecah belah mereka. Usaha untuk mengelola dinamika bisnis keluarga ke arah positif membutuhkan profesionalisme yang tinggi, atau justru rasa persaudaraan yang kental. Tongkat estafet kekuasaan pun sering kali tidak berjalan mulus. Namun grup Sampoerna mampu bertahan sampai generasi ke empat, sebelum akhirnya menjual saham mereka ke Phillip Morris. Generasi ke tiga pun telah mulai berkiprah di beberapa grup bisnis keluarga, seperti Grup Sosro, Bakrie,dan Djarum. Dalam tulisan ini dibahas dinamika, profesionalisme dan suksesi yang terjadi, guna mengupayakan kelanggengan suatu bisnis keluarga.
I. Pendahuluan
Definisi dari bisnis keluarga yang dibahas pada tulisan ini adalah suatu perusahaan dimana pendiri atau keturunannya tetap menduduki posisi top management, atau dewan komisaris di perusahaan, atau tetap merupakan pemegang saham mayoritas.
Berdasarkan Standard & Poors 500 tahun 2003, 177 dari 500 perusahaan terbesar di Amerika Serikat (AS), atau lebih dari 35% nya, merupakan Bisnis Keluarga. Rata-rata kinerja mereka selama 10 tahun terakhir ini memiliki annual income growth yang lebih tinggi (21.1%) daripada perusahaan lainnya (12.6%). Perusahaan keluarga ini termasuk Dell, Wal-Mart dan Nike.
Di dalam negeri, berdasarkan diskusi bertema Economic Development: Does Entrepreneurship Matter? Yang diselenggarakan oleh Ernst & Young pada tahun 2002, ternyata lebih dari 90% pengusaha Indonesia merupakan eksekutif yang menjalankan bisnis keluarga mereka. Bisnis keluarga ini bahkan diperkirakan menyumbang lebih dari 80% Produk Domestik Bruto Negara kita.
Untuk sebagian orang, bergabung di bisnis keluarga merupakan suatu keputusan yang sangat natural, terutama bagi mereka yang sudah dipersiapkan sejak dini. Salah satu contohnya Group Alfa. Djoko Susanto, sang pendiri, telah melatih kelima anaknya berdagang sejak kecil. Dengan pertimbangan bakat dan ketertarikan pada bisnis keluarganya tersebut, Fenny Susanto, anak ke tiganya, yang diproyeksikan sebagai penerus pemegang kendali Group Alfa. Sekarang ini sang puteri mahkota sedang digembleng sebagai CEO PT. Sumber Alfaria Trijaya (Alfamart)..
Namun adapula yang melihat kesempatan untuk meneruskan bisnis keluarga hanya sebagai salah satu pilihan karir yang dipertimbangkan. Seperti misalnya Sudhamek, CEO Group Garudafood. Selepas kuliah, Sudhamek memilih untuk berkarir di perusahaan lain. Setelah berkarir lebih dari 10 tahun, barulah beliau bergabung ke perusahaan yang didirikan oleh ayahnya tersebut. Contoh lainnya adalah bisnis keluarga Surabaya Post. Keempat anak Azis dan Tuti Azis, sang pendiri, tidak ada yang memilih untuk meneruskan usaha orang tua mereka. Akhirnya Surabaya Post pun dilego.
Idealnya, keputusan bergabung dengan bisnis keluarga harus didasari pada pengertian akan dinamika dan tantangan spesifik yang menanti di dalamnya. Dimana para eksekutif yang juga merupakan anggota keluarga menghadapi kondisi dimana satu kaki berpijak pada kejayaan pendiri atau pendahulunya, dan satu kaki lagi berusaha berlari untuk meraih kejayaan masa depan mereka sendiri dan penerusnya.
Tulisan ini akan membahas mengenai dinamika yang terjadi dalam bisnis keluarga, profesionalisme yang dibutuhkan, serta proses suksesi yang biasanya terjadi.
II. Dinamika Bisnis Keluarga
Dinamika bisnis keluarga disebabkan karena adanya tiga komponen yang tumpang tindih, yaitu keluarga, bisnis dan kepemilikan. Hal tersebut sering kali menyebabkan keputusan manajemen menjadi lebih rumit. Biasanya pemilik perusahaan akan mengedepankan urusan keluarga. Namun hal ini menjadi tidak berlaku lagi, jika sang pemersatu dalam keluarga, atau biasanya sang pendiri, sudah tidak ada atau tidak dominan lagi di dalam bisnis tersebut.
Hal ini terjadi pada bisnis keluarga Nyonya Meneer. Berdasarkan referensi, konflik muncul sejak tiga tahun setelah sang pendiri meninggal. Ketika itu Chales Saerang masih menjabat sebagai Asisten Pemasaran. Pemecahan konflik ini dilakukan dengan proses jual beli kepemilikan saham diantara keluarga yang berlangsung hampir dua puluh tahun.
Konflik keluarga pun pernah menggores Grup Blue Bird, sesaat setelah meninggalnya perintis grup tersebut, Mutiara Djoko Soetono. Peranannya yang demikian kuat, membuat hampir semua keputusan sangat tergantung padanya. Namun, ketika beliau tidak ada dan pimpinan berganti ke generasi berikutnya, peranan yang dominan seperti itu pun mulai berubah. Buntutnya, Mintarsih A. Latief, salah satu keluarga pemilik, hengkang dan mendirikan Gamya, yang bergerak pada bisnis yang serupa.
Masalah yang kerap timbul dalam perusahaan keluarga sering kali menyebabkan anggota keluarga yang lebih muda enggan untuk bergabung. Dan sebaliknya, kemegahan perusahaan keluarga menyebabkan anggota keluarganya berebut posisi dalam perusahaan tersebut. Sebaiknya, dalam merekrut anggota keluarga dijelaskan dengan gamblang semua kesempatan dan tantangan yang akan mereka hadapi. Hal ini juga dapat dijalankan dengan memagangkan terlebih dahulu para keluarga yang ingin bergabung, sehingga mereka dapat memperhatikan kondisi perusahaan dengan lebih seksama. Cara ini banyak dilakukan oleh para pemilik perusahaan, seperti di grup Alfa. Penanaman nilai-nilai keluarga dalam bisnis keluarga juga sangat penting. Namun harus ditekankan bahwa ada perbedaan tajam antara kepentingan perusahaan dan pribadi. Untuk menghindari konflik, sebaiknya sejak awal ditetapkan tanggung-jawab dan wewenang masing-masing anggota keluarga.
Salah satu kesulitan manajerial yang terdapat dalam perusahaan keluarga adalah kompleksitas antar anggota keluarga dalam memposisikan dirinya. Terutama orang tua dan anak yang menghadapi hubungan keluarga dan bisnis yang tercampur aduk. Sehingga sang orang tua selalu melihat calon penerusnya sebagai “anak” yang tidak pernah mampu. Sedangkan sang anak yang ambisius melihat pendahulunya sebagai “orang tua” yang keras kepala. Secara ekstrim, hal ini terjadi pada kerajaan bisnis asuransi AIG. Tidak tahan dengan kepemimpinan sang ayah yang juga pendiri AIG, yaitu Maurice Greenberg, sang anak Evan Greenberg keluar dari AIG dan bergabung dengan ACE, yang merupakan perusahaan asuransi pesaing langsung AIG.
Sesungguhnya, kehadiran anggota keluarga sebagai pimpinan di perusahaan sering kali memberikan suatu keuntungan tersendiri. Karena mereka umumnya memiliki motivasi khusus dalam kesuksesan perusahaan, yang notabene juga kesuksesan keluarga mereka. Sebagai tambahan, reputasi sang Successor dalam keluarga dan komunitas bisnis ditentukan oleh kemampuannya dalam meneruskan bisnis keluarga ini. Sehingga biasanya mereka akan berjuang lebih keras, dan setia menghadapi semua pasang surut perusahaan.
Seperti perusahaan pada umumnya, perusahaan keluarga juga memiliki budaya organisasi. Budaya ini ditentukan oleh tiga komponen yang dirumuskan oleh W. Gibb Dyer, Jr., yaitu keluarga (family), bisnis (business) dan tata kelola perusahaan (governance).
Business Pattern
Paternalistic
Laissez-faire
Participation
Professional
Governance Pattern
Paper Board
Rubber-Stamp Board
Advisory Board
Overseer Board
Family Pattern
Patriarchal
Collaborative
Conflicted
Cultural Configuration of the Family Firm
Sumber: W. Gibb Dyer, Jr., Cultural Change in Family Firms (San Fransisco: Jossey-Bass, 1986), p.22.
Pada awalnya, menurut Dyer, suatu perusahaan keluarga umumnya memiliki budaya yang terbentuk dari pola bisnis yang paternalistic, pola keluarga yang patriarchal dan pola tata kelola perusahaan yang berdasarkan rubber-stamp dari dewan direksi. Artinya, relasi keluarga lebih penting dari pada kemampuan professional, sang pendiri merupakan pemimpin yang dominan serta memiliki kekuasaan untuk menentukan yang tidak tergoyahkan, dan dewan direksi secara otomatis akan mendukung segala keputusan sang pendiri perusahaan tersebut.
Sejalan dengan waktu, proses perpindahan kepemimpinan dalam suatu perusahaan pun tidak terelakan lagi. Baik perpindahan itu kepada generasi penerus keluarga maupun ke pihak professional. Hal ini pastinya akan merubah konfigurasi budaya yang semula dianut. Biasanya sang successor akan berusaha untuk mengurangi porsi dominan sang pendiri, walaupun belum tentu berhasil. Dalam proses tersebut, konfigurasi budaya yang semula erat melekat pada perusahaan mungkin tidak efektif lagi. Contohnya seperti pada kasus Nyonya Meneer dan Grup Blue Bird di atas.
Bisnis keluarga yang berkembang dengan baik, sampai suatu titik tertentu pasti akan membutuhkan keahlian professional yang lebih tinggi. Dalam beberapa kasus, ternyata di dalam keluarga terdapat talent professional yang sangat baik dan cocok dengan bisnis keluarga tersebut. Contohnya, Sudhamek yang mampu membesarkan usaha keluarganya, Garudafood. Aburizal Bakrie yang mampu mengembangkan usaha yang dirintis ayahnya, Achmad Bakrie, menjadi kerajaan bisnis yang menggurita. Namun ada pula yang memprioritaskan kelanggengan bisnis keluarga, dan tidak ngoyo menjadikan keturunan mereka sebagai pemimpin perusahaan. Seperti contohnya, grup Kalbe. Setelah pendirinya, maka Presiden Direktur Kalbe selalu professional, dan bukan keluarga. Namun bisa kita lihat bahwa performa Kalbe selalu baik dari tahun ke tahun, dan terus berkembang.
Seseorang yang mengambil keputusan untuk berkarir dalam bisnis keluarganya sebaiknya sudah mengerti akan dinamika antara bisnis dan keluarga yang akan dihadapinya. Kemampuan untuk mengembangkan dirinya secara profesional juga harus dapat diwujudkan, bukan hanya untuk memenangkan persaingan antar keluarga dalam memperoleh tampuk pimpinan perusahaan, namun yang terutama adalah untuk kelanggengan dan pengembangan dari perusahaan itu sendiri.
III. Profesionalisme Dalam Bisnis Keluarga
Dalam mengelola bisnis keluarga, sang pendiri maupun penerus yang menjadi pimpinan harus menetapkan tujuan dan prioritas dengan matang. Apakah kelanggengan perusahaan? Atau kepemimpinan penerus dalam perusahaan? Idealnya, keduanya dapat dicapai secara bersamaan. Hal ini dapat dilakukan jika sang penerus dibekali dengan ilmu dan pengalaman yang memadai. Sehingga mereka dapat tumbuh sebagai professional yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan Namun jika sang penerus tidak mampu atau tidak berminat, maka harus ada skenario lain. Intinya, dalam mengembangkan perusahaan keluarga, profesionalisme tetap sangat dibutuhkan. Darimana profesionalisme itu berasal adalah masalah lain.
Kehadiran manajemen yang baik tentunya sangat dibutuhkan dalam semua bisnis. Namun dinamika bisnis keluarga yang unik membutuhkan penerapan manajemen yang khusus, dimana perusahaan dapat berkembang secara optimal dengan tetap mengakomodir fungsi keluarga. Secara empiris dapat dilihat bahwa keharmonisan hubungan antar keluarga dapat mempengaruhi kelanggengan perusahaan keluarga mereka. John L Ward dari Kellogg School of Management (1997) merumuskan bahwa manajemen bisnis keluarga harus mampu mewujudkan ke-enam hal berikut:
1. Mampu mendorong lahirnya ide dan pemikiran strategis yang segar.
2. Mampu memikat dan mempertahankan profesional non keluarga yang ulung.
3. Mampu menciptakan organisasi yang flexible dan inovatif.
4. Mampu mendapatkan dan mengembangkan modal.
5. Mampu mempersiapkan penerus kepemimpinan.
6. Mampu memanfaatkan keuntungan dari kondisi kepemilikan keluarga.
Dalam perusahaan keluarga, karyawan yang merupakan profesional non keluarga sering kali terjebak dalam situasi yang kemudian membuat mereka menjadi frustasi, seperti terlibat dalam peperangan keluarga dan ketidak jelasan jenjang karir. Kondisi ini dapat menyebabkan para karyawan, termasuk yang handal, menurun kualitas kerjanya atau bahkan keluar dari perusahaan. Hal ini harus diantisipasi dan disiasati sejak awal. Di grup Kalbe misalnya, jenjang karir bagi profesional non keluarga terbuka lebar. CEO Kalbe Farma yang sekarang, Johannes Setijono, merupakan profesional yang merintis karirnya di grup ini sejak lama. Namun sebaliknya di grup Bakrie, kesempatan bagi profesional non keluarga kelihatannya tidak seluas ini.
Kedua sistem ini positif tergantung kebutuhan perusahaannya. Bagi profesional yang masuk ke dalam bisnis keluarga, sebaiknya mengetahui resiko tersebut sejak awal sehingga tidak kecewa di kemudian hari. Sedangkan bagi pemilik perusahaan, sebaiknya menyiapkan successor yang profesional sejak jauh-jauh hari atau dengan lapang dada menyerahkan tampuk pimpinan pada orang luar.
Untuk menjaga profesionalime dalam bisnis keluarga, dapat disusun suatu Family Business Constitution atau tata laku bisnis keluarga. Yaitu, suatu aturan tertulis untuk mengatur keluarga dalam berbisnis. Hal ini dilakukan untuk membantu keluarga dalam menghadapi krisis dan perubahan yang terjadi dalam perusahaan, termasuk adanya suksesi. Tujuannya adalah untuk mengelola konflik yang dapat terjadi.
Grup Blue Bird adalah salah satu contoh yang menerapkan Family Business Constitution ini, untuk mengatur hal-hal mengenai perusahaan yang berkaitan dengan keluarga. Seperti, soal pemilihan CEO, boleh tidaknya suami/ istri masuk ke dalam perusahaan, siapa yang akan mewakili keluarga dalam komisaris atau manajemen, dan sebagainya.
Bisnis keluarga umumnya menghadapi tantangan profesionalisme yang unik. Penguasaan bisnis, pemikiran yang visioner, dan inovatif saja tidak cukup. Seorang pemimpin pada bisnis keluarga juga harus memiliki kompetensi akomodatif yang mampu mempersatukan anggota keluarga secara kondusif serta mampu menjaga keharuman nama keluarga. Hal ini menjadi salah satu motivasi bagi pendiri bisnis untuk tetap mewariskan tampuk pimpinan perusahaannya kepada anggota keluarga mereka.
IV. Proses Suksesi
Dalam siklus yang natural, pendiri perusahaan harus menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada penerusnya. Ada empat pilihan yang menjadi alternatif, yaitu:
1. Menyerahkan kepada anggota keluarga yang biasa disebut sebagai putra mahkota. Contohnya, hal ini dilakukan pada grup Konimex, dimana posisi pimpinan perusahaan sudah diserahkan oleh Djoenaedi Joesoef kepada putranya Edijanto Joesoef.
2. Menyerahkan kepada professional. Contohnya, hal ini dilakukan pada grup Kalbe, dimana posisi pimpinan diserahkan kepada Johannes Setijono.
3. Tetap memegang saham, namun keluarga berbisnis yang lain. Contohnya yang dilakukan konglomerat Orde Baru, Sudwikatmono. Keempat anaknya mengembangkan jaringan bisnisnya sendiri.
4. Menjual saham dan membagi warisan. Mungkin tidak ada perusahaan keluarga yang merencanakan model ini. Kalau pun terjadi, mungkin karena sang pemilik meninggal dunia dan tidak ada keturunannya yang ingin meneruskan.
Pada tulisan ini, pembahasan akan dilakukan pada proses suksesi tipe pertama yaitu menyerahkan tongkat estafet kepemimpinan kepada anggota keluarganya sendiri. Tugas mempersiapkan anggota keluarga untuk mengemban posisi pimpinan perusahaan tidaklah mudah. Tuntutan akan kemampuan profesionalisme dan manajerial terkadang tercampur baur dengan emosi dan kepentingan keluarga. Untuk mempersiapkan para successor ini pun membutuhkan proses yang memakan waktu bertahun-tahun. Proses ini banyak memakan korban, namun tidak sedikit pula perusahaan yang berhasil. Di Jepang, ada perusahaan keluarga yang terus hidup dan berkembang selama 40 generasi, yaitu bisnis hotel yang didirikan Hoshi pada tahun 717. Di Indonesia, yang iklim bisnisnya masih tergolong muda, grup Sampoerna mampu bertahan sampai generasi ke empat, sebelum akhirnya menjual saham mereka ke Phillip Morris. Generasi ke tiga pun sudah mulai berkiprah di beberapa grup bisnis keluarga, seperti Grup Sosro, Bakrie,dan Djarum.
Berikut ini adalah tahapan yang harus dilalui dalam proses suksesi menurut Justin G Longenecker dan John E. Schoen.
Tahap I: Pre Business Stage
Pada tahap ini, calon penerus mulai bersinggungan dengan bisnis keluarga sebagai bagian dari proses tumbuh kembangnya. Belum ada rencana formal yang pasti untuk menjadikan sang anak sebagai successor di perusahaan. Namun hal ini menjadi landasan dalam pembentukan karakternya yang akan berpengaruh pada proses suksesi di kemudian hari. Pada tahap inilah, Feny Susanto yang masih balita sering diajak ke toko ayahnya yang merupakan pimpinan grup Alfa.
Tahap II: Introductory Stage
Tahapan ini melibatkan pengenalan dini mengenai perusahaan kepada calon penerus. Seperti pengenalan terhadap orang-orang yang terlibat dalam perusahaan, peralatan-peralatan yang dipergunakan oleh perusahaan dan produk yang dihasilkan serta dijual oleh perusahaan, dan sebagainya.
Tahap III: Introductory Functional Stage
Pada tahap ini, calon penerus mulai bekerja paruh waktu di perusahaan keluarga. Seperti Feny Susanto yang selalu membantu di toko setiap liburan sekolah. Tahapan ini juga termasuk pendidikan formal dan pengalaman organisasi yang diperoleh sang calon penerus.
Tahap IV: Functional Stage
Tahapan ini dimulai saat calon penerus mulai bekerja secara full-time, biasanya setelah menyelesaikan pendidikan formalnya. Biasanya pada tahap ini, mereka bekerja pada posisi entry-level atau asistant, dan di rotasi di beberapa bagian untuk mendapatkan pengalaman yang menyeluruh.
Tahap V: Advanced Functional Stage
Pada tahap ini sang calon penerus sudah memiliki kemampuan professional yang cukup baik sehingga dipromosikan ke posisi manajerial. Pada posisi ini, mereka dipercaya untuk mengelola sebagian dari perusahaan, misalnya suatu departemen.
Tahap VI: Early Succession Stage
Tahapan ini terjadi saat sang calon penerus menjabat sebagai Direktur Pengelola ataupun Presiden Direktur. Namun pada penerapannya, masih sebagai pimpinan, secara de jure. Mereka telah dipercaya mengelola perusahaan, walaupun masih di bawah pengawasan ketat dari orang tua mereka. Kemampuan memimpin tidak dapat diturunkan semudah posisi pemimpin itu sendiri. Sang penerus masih harus belajar banyak dalam memimpin seluruh perusahaan, dan sang pendahulu masih ragu untuk memberikan seluruh wewenang untuk mengambil keputusan. Hal ini yang terjadi sekarang pada Feny Susanto di grup Alfa yang membawahi 20 ribu karyawan.
Tahap V: Mature Succession Stage
Pada tahap ini, proses transisi kepemimpinan telah berlangsung secara tuntas. Successor telah diangkat sebagai pimpinan perusahaan secara de facto. Tahap ini biasanya terjadi dua-tiga tahun setelah tahapan sebelumnya.
Tidak semua proses suksesi dapat berjalan mulus. Banyak pula calon penerus yang justru hengkang dari perusahaan saat proses suksesi ini berlangsung. Hal ini biasanya terjadi karena konflik yang berkelanjutan dengan sang pendahulunya. Demi kelangsungan hidup perusahaan, banyak pula pendiri yang memilih untuk mengangkat profesional sebagai penggantinya. Penerus perusahaan dari luar ataupun keluarga sendiri semuanya dapat menjadi positif, tergantung dengan kebutuhan perusahaan dan kesiapan pemiliknya.
V. Kesimpulan
Bisnis keluarga seperti pedang bermata dua. Di satu sisi dapat mengangkat derajat keluarga. Di sisi lain, menyimpan potensi konflik yang justru dapat memecah keluarga tersebut. Keputusan untuk bergabung dengan perusahaan keluarga sebaiknya didasari oleh pengetahuan yang cukup mengenai bisnis serta dinamika yang akan dihadapi, dan bukan hanya keputusan emosional atau keterpaksaan belaka.
Profesionalisme yang baik sangat dibutuhkan dalam semua bisnis, tidak terkecuali dalam perusahaan keluarga. Namun karena dinamikanya yang unik, suatu bisnis keluarga membutuhkan pemimpin dengan kompetensi khusus yaitu kompetensi akomodatif yang mampu mempersatukan anggota keluarga secara kondusif.
Secara umum, proses suksesi dalam perusahaan keluarga dilakukan kepada generasi penerus yang merupakan keturunan langsung dari pendiri. Namun dalam beberapa kasus, karena alasan yang kuat, tampuk kepemimpinan diberikan kepada pihak profesional. Kedua hal ini bisa jadi positif, tergantung dari kebutuhan perusahaan serta kesiapan pemilik dalam menghadapi konsekuensi dari keputusan suksesi tersebut.
Daftar Pustaka
Justin G Longenecker, Carlos W Moore, J William Petty, Leslie E Palich, “Small Business Management – an Entpreneurial Emphasis”, South-Western, Internatioanl Edition, 2006.
SK. Zainuddin, Yus Husni Thamrin, “Rising to the Challenge”, Globe Asia, Vol. Number 4, May 2007.
Teguh Pambudi, “Sebuah Keniscayaan Bernama Suksesi”, SWA Sembada, No. 12/ XXIII/ 4, 13 Juni 2007.
Firdanianty, “Beginilah Cara Mereka Bersuksesi”, SWA Sembada, No. 12/ XXIII/ 4, 13 Juni 2007.
Teguh Pambudi, “Merevisi Paradigma Bisnis Keluarga”, SWA Sembada, No. 10/ XIX/ 13, 27 Mei 2003.
Henni T Soelaeman, “Kepemilikan Saham Boleh Berceceran, Asal...”, SWA Sembada, No. 10/ XIX/ 13, 27 Mei 2003.
Joseph Weber, Louis Lavele, Tom Lowry, Wendy Zellner, Amy Barret, “Family, Inc”, BusinessWeek, No.3857, November, 20, 2003.
Tentang Penulis:
Safitri Siswono, ST., MM adalah alumni Prasetiya Mulya Business School, Program Eksekutif Muda Angkatan 8. Pernah bekerja di PT. Unilever Indonesia, Tbk dengan posisi terakhir sebagai Business Development Manager. Tahun 2004, mendirikan perusahaan yang bergerak di bidang consumer foods, PT. Ciptafood Makmur Mandiri. Selain itu, juga memimpin perusahan keluarga PT. Arthaguna Ciptasarana.
(ditulis oleh Safitri Siswono, ST, MM)
Abstrak
Bisnis Keluarga di Indonesia memiliki peran yang sangat penting, bahkan diperkirakan menyumbang Produk Domestik Bruto lebih dari 80%. Keberhasilan bisnis yang mereka rintis dan pertahankan dapat mengangkat derajat suatu keluarga, namun dinamika yang terjadi sering kali menghasilkan konflik yang dapat memecah belah mereka. Usaha untuk mengelola dinamika bisnis keluarga ke arah positif membutuhkan profesionalisme yang tinggi, atau justru rasa persaudaraan yang kental. Tongkat estafet kekuasaan pun sering kali tidak berjalan mulus. Namun grup Sampoerna mampu bertahan sampai generasi ke empat, sebelum akhirnya menjual saham mereka ke Phillip Morris. Generasi ke tiga pun telah mulai berkiprah di beberapa grup bisnis keluarga, seperti Grup Sosro, Bakrie,dan Djarum. Dalam tulisan ini dibahas dinamika, profesionalisme dan suksesi yang terjadi, guna mengupayakan kelanggengan suatu bisnis keluarga.
I. Pendahuluan
Definisi dari bisnis keluarga yang dibahas pada tulisan ini adalah suatu perusahaan dimana pendiri atau keturunannya tetap menduduki posisi top management, atau dewan komisaris di perusahaan, atau tetap merupakan pemegang saham mayoritas.
Berdasarkan Standard & Poors 500 tahun 2003, 177 dari 500 perusahaan terbesar di Amerika Serikat (AS), atau lebih dari 35% nya, merupakan Bisnis Keluarga. Rata-rata kinerja mereka selama 10 tahun terakhir ini memiliki annual income growth yang lebih tinggi (21.1%) daripada perusahaan lainnya (12.6%). Perusahaan keluarga ini termasuk Dell, Wal-Mart dan Nike.
Di dalam negeri, berdasarkan diskusi bertema Economic Development: Does Entrepreneurship Matter? Yang diselenggarakan oleh Ernst & Young pada tahun 2002, ternyata lebih dari 90% pengusaha Indonesia merupakan eksekutif yang menjalankan bisnis keluarga mereka. Bisnis keluarga ini bahkan diperkirakan menyumbang lebih dari 80% Produk Domestik Bruto Negara kita.
Untuk sebagian orang, bergabung di bisnis keluarga merupakan suatu keputusan yang sangat natural, terutama bagi mereka yang sudah dipersiapkan sejak dini. Salah satu contohnya Group Alfa. Djoko Susanto, sang pendiri, telah melatih kelima anaknya berdagang sejak kecil. Dengan pertimbangan bakat dan ketertarikan pada bisnis keluarganya tersebut, Fenny Susanto, anak ke tiganya, yang diproyeksikan sebagai penerus pemegang kendali Group Alfa. Sekarang ini sang puteri mahkota sedang digembleng sebagai CEO PT. Sumber Alfaria Trijaya (Alfamart)..
Namun adapula yang melihat kesempatan untuk meneruskan bisnis keluarga hanya sebagai salah satu pilihan karir yang dipertimbangkan. Seperti misalnya Sudhamek, CEO Group Garudafood. Selepas kuliah, Sudhamek memilih untuk berkarir di perusahaan lain. Setelah berkarir lebih dari 10 tahun, barulah beliau bergabung ke perusahaan yang didirikan oleh ayahnya tersebut. Contoh lainnya adalah bisnis keluarga Surabaya Post. Keempat anak Azis dan Tuti Azis, sang pendiri, tidak ada yang memilih untuk meneruskan usaha orang tua mereka. Akhirnya Surabaya Post pun dilego.
Idealnya, keputusan bergabung dengan bisnis keluarga harus didasari pada pengertian akan dinamika dan tantangan spesifik yang menanti di dalamnya. Dimana para eksekutif yang juga merupakan anggota keluarga menghadapi kondisi dimana satu kaki berpijak pada kejayaan pendiri atau pendahulunya, dan satu kaki lagi berusaha berlari untuk meraih kejayaan masa depan mereka sendiri dan penerusnya.
Tulisan ini akan membahas mengenai dinamika yang terjadi dalam bisnis keluarga, profesionalisme yang dibutuhkan, serta proses suksesi yang biasanya terjadi.
II. Dinamika Bisnis Keluarga
Dinamika bisnis keluarga disebabkan karena adanya tiga komponen yang tumpang tindih, yaitu keluarga, bisnis dan kepemilikan. Hal tersebut sering kali menyebabkan keputusan manajemen menjadi lebih rumit. Biasanya pemilik perusahaan akan mengedepankan urusan keluarga. Namun hal ini menjadi tidak berlaku lagi, jika sang pemersatu dalam keluarga, atau biasanya sang pendiri, sudah tidak ada atau tidak dominan lagi di dalam bisnis tersebut.
Hal ini terjadi pada bisnis keluarga Nyonya Meneer. Berdasarkan referensi, konflik muncul sejak tiga tahun setelah sang pendiri meninggal. Ketika itu Chales Saerang masih menjabat sebagai Asisten Pemasaran. Pemecahan konflik ini dilakukan dengan proses jual beli kepemilikan saham diantara keluarga yang berlangsung hampir dua puluh tahun.
Konflik keluarga pun pernah menggores Grup Blue Bird, sesaat setelah meninggalnya perintis grup tersebut, Mutiara Djoko Soetono. Peranannya yang demikian kuat, membuat hampir semua keputusan sangat tergantung padanya. Namun, ketika beliau tidak ada dan pimpinan berganti ke generasi berikutnya, peranan yang dominan seperti itu pun mulai berubah. Buntutnya, Mintarsih A. Latief, salah satu keluarga pemilik, hengkang dan mendirikan Gamya, yang bergerak pada bisnis yang serupa.
Masalah yang kerap timbul dalam perusahaan keluarga sering kali menyebabkan anggota keluarga yang lebih muda enggan untuk bergabung. Dan sebaliknya, kemegahan perusahaan keluarga menyebabkan anggota keluarganya berebut posisi dalam perusahaan tersebut. Sebaiknya, dalam merekrut anggota keluarga dijelaskan dengan gamblang semua kesempatan dan tantangan yang akan mereka hadapi. Hal ini juga dapat dijalankan dengan memagangkan terlebih dahulu para keluarga yang ingin bergabung, sehingga mereka dapat memperhatikan kondisi perusahaan dengan lebih seksama. Cara ini banyak dilakukan oleh para pemilik perusahaan, seperti di grup Alfa. Penanaman nilai-nilai keluarga dalam bisnis keluarga juga sangat penting. Namun harus ditekankan bahwa ada perbedaan tajam antara kepentingan perusahaan dan pribadi. Untuk menghindari konflik, sebaiknya sejak awal ditetapkan tanggung-jawab dan wewenang masing-masing anggota keluarga.
Salah satu kesulitan manajerial yang terdapat dalam perusahaan keluarga adalah kompleksitas antar anggota keluarga dalam memposisikan dirinya. Terutama orang tua dan anak yang menghadapi hubungan keluarga dan bisnis yang tercampur aduk. Sehingga sang orang tua selalu melihat calon penerusnya sebagai “anak” yang tidak pernah mampu. Sedangkan sang anak yang ambisius melihat pendahulunya sebagai “orang tua” yang keras kepala. Secara ekstrim, hal ini terjadi pada kerajaan bisnis asuransi AIG. Tidak tahan dengan kepemimpinan sang ayah yang juga pendiri AIG, yaitu Maurice Greenberg, sang anak Evan Greenberg keluar dari AIG dan bergabung dengan ACE, yang merupakan perusahaan asuransi pesaing langsung AIG.
Sesungguhnya, kehadiran anggota keluarga sebagai pimpinan di perusahaan sering kali memberikan suatu keuntungan tersendiri. Karena mereka umumnya memiliki motivasi khusus dalam kesuksesan perusahaan, yang notabene juga kesuksesan keluarga mereka. Sebagai tambahan, reputasi sang Successor dalam keluarga dan komunitas bisnis ditentukan oleh kemampuannya dalam meneruskan bisnis keluarga ini. Sehingga biasanya mereka akan berjuang lebih keras, dan setia menghadapi semua pasang surut perusahaan.
Seperti perusahaan pada umumnya, perusahaan keluarga juga memiliki budaya organisasi. Budaya ini ditentukan oleh tiga komponen yang dirumuskan oleh W. Gibb Dyer, Jr., yaitu keluarga (family), bisnis (business) dan tata kelola perusahaan (governance).
Business Pattern
Paternalistic
Laissez-faire
Participation
Professional
Governance Pattern
Paper Board
Rubber-Stamp Board
Advisory Board
Overseer Board
Family Pattern
Patriarchal
Collaborative
Conflicted
Cultural Configuration of the Family Firm
Sumber: W. Gibb Dyer, Jr., Cultural Change in Family Firms (San Fransisco: Jossey-Bass, 1986), p.22.
Pada awalnya, menurut Dyer, suatu perusahaan keluarga umumnya memiliki budaya yang terbentuk dari pola bisnis yang paternalistic, pola keluarga yang patriarchal dan pola tata kelola perusahaan yang berdasarkan rubber-stamp dari dewan direksi. Artinya, relasi keluarga lebih penting dari pada kemampuan professional, sang pendiri merupakan pemimpin yang dominan serta memiliki kekuasaan untuk menentukan yang tidak tergoyahkan, dan dewan direksi secara otomatis akan mendukung segala keputusan sang pendiri perusahaan tersebut.
Sejalan dengan waktu, proses perpindahan kepemimpinan dalam suatu perusahaan pun tidak terelakan lagi. Baik perpindahan itu kepada generasi penerus keluarga maupun ke pihak professional. Hal ini pastinya akan merubah konfigurasi budaya yang semula dianut. Biasanya sang successor akan berusaha untuk mengurangi porsi dominan sang pendiri, walaupun belum tentu berhasil. Dalam proses tersebut, konfigurasi budaya yang semula erat melekat pada perusahaan mungkin tidak efektif lagi. Contohnya seperti pada kasus Nyonya Meneer dan Grup Blue Bird di atas.
Bisnis keluarga yang berkembang dengan baik, sampai suatu titik tertentu pasti akan membutuhkan keahlian professional yang lebih tinggi. Dalam beberapa kasus, ternyata di dalam keluarga terdapat talent professional yang sangat baik dan cocok dengan bisnis keluarga tersebut. Contohnya, Sudhamek yang mampu membesarkan usaha keluarganya, Garudafood. Aburizal Bakrie yang mampu mengembangkan usaha yang dirintis ayahnya, Achmad Bakrie, menjadi kerajaan bisnis yang menggurita. Namun ada pula yang memprioritaskan kelanggengan bisnis keluarga, dan tidak ngoyo menjadikan keturunan mereka sebagai pemimpin perusahaan. Seperti contohnya, grup Kalbe. Setelah pendirinya, maka Presiden Direktur Kalbe selalu professional, dan bukan keluarga. Namun bisa kita lihat bahwa performa Kalbe selalu baik dari tahun ke tahun, dan terus berkembang.
Seseorang yang mengambil keputusan untuk berkarir dalam bisnis keluarganya sebaiknya sudah mengerti akan dinamika antara bisnis dan keluarga yang akan dihadapinya. Kemampuan untuk mengembangkan dirinya secara profesional juga harus dapat diwujudkan, bukan hanya untuk memenangkan persaingan antar keluarga dalam memperoleh tampuk pimpinan perusahaan, namun yang terutama adalah untuk kelanggengan dan pengembangan dari perusahaan itu sendiri.
III. Profesionalisme Dalam Bisnis Keluarga
Dalam mengelola bisnis keluarga, sang pendiri maupun penerus yang menjadi pimpinan harus menetapkan tujuan dan prioritas dengan matang. Apakah kelanggengan perusahaan? Atau kepemimpinan penerus dalam perusahaan? Idealnya, keduanya dapat dicapai secara bersamaan. Hal ini dapat dilakukan jika sang penerus dibekali dengan ilmu dan pengalaman yang memadai. Sehingga mereka dapat tumbuh sebagai professional yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan Namun jika sang penerus tidak mampu atau tidak berminat, maka harus ada skenario lain. Intinya, dalam mengembangkan perusahaan keluarga, profesionalisme tetap sangat dibutuhkan. Darimana profesionalisme itu berasal adalah masalah lain.
Kehadiran manajemen yang baik tentunya sangat dibutuhkan dalam semua bisnis. Namun dinamika bisnis keluarga yang unik membutuhkan penerapan manajemen yang khusus, dimana perusahaan dapat berkembang secara optimal dengan tetap mengakomodir fungsi keluarga. Secara empiris dapat dilihat bahwa keharmonisan hubungan antar keluarga dapat mempengaruhi kelanggengan perusahaan keluarga mereka. John L Ward dari Kellogg School of Management (1997) merumuskan bahwa manajemen bisnis keluarga harus mampu mewujudkan ke-enam hal berikut:
1. Mampu mendorong lahirnya ide dan pemikiran strategis yang segar.
2. Mampu memikat dan mempertahankan profesional non keluarga yang ulung.
3. Mampu menciptakan organisasi yang flexible dan inovatif.
4. Mampu mendapatkan dan mengembangkan modal.
5. Mampu mempersiapkan penerus kepemimpinan.
6. Mampu memanfaatkan keuntungan dari kondisi kepemilikan keluarga.
Dalam perusahaan keluarga, karyawan yang merupakan profesional non keluarga sering kali terjebak dalam situasi yang kemudian membuat mereka menjadi frustasi, seperti terlibat dalam peperangan keluarga dan ketidak jelasan jenjang karir. Kondisi ini dapat menyebabkan para karyawan, termasuk yang handal, menurun kualitas kerjanya atau bahkan keluar dari perusahaan. Hal ini harus diantisipasi dan disiasati sejak awal. Di grup Kalbe misalnya, jenjang karir bagi profesional non keluarga terbuka lebar. CEO Kalbe Farma yang sekarang, Johannes Setijono, merupakan profesional yang merintis karirnya di grup ini sejak lama. Namun sebaliknya di grup Bakrie, kesempatan bagi profesional non keluarga kelihatannya tidak seluas ini.
Kedua sistem ini positif tergantung kebutuhan perusahaannya. Bagi profesional yang masuk ke dalam bisnis keluarga, sebaiknya mengetahui resiko tersebut sejak awal sehingga tidak kecewa di kemudian hari. Sedangkan bagi pemilik perusahaan, sebaiknya menyiapkan successor yang profesional sejak jauh-jauh hari atau dengan lapang dada menyerahkan tampuk pimpinan pada orang luar.
Untuk menjaga profesionalime dalam bisnis keluarga, dapat disusun suatu Family Business Constitution atau tata laku bisnis keluarga. Yaitu, suatu aturan tertulis untuk mengatur keluarga dalam berbisnis. Hal ini dilakukan untuk membantu keluarga dalam menghadapi krisis dan perubahan yang terjadi dalam perusahaan, termasuk adanya suksesi. Tujuannya adalah untuk mengelola konflik yang dapat terjadi.
Grup Blue Bird adalah salah satu contoh yang menerapkan Family Business Constitution ini, untuk mengatur hal-hal mengenai perusahaan yang berkaitan dengan keluarga. Seperti, soal pemilihan CEO, boleh tidaknya suami/ istri masuk ke dalam perusahaan, siapa yang akan mewakili keluarga dalam komisaris atau manajemen, dan sebagainya.
Bisnis keluarga umumnya menghadapi tantangan profesionalisme yang unik. Penguasaan bisnis, pemikiran yang visioner, dan inovatif saja tidak cukup. Seorang pemimpin pada bisnis keluarga juga harus memiliki kompetensi akomodatif yang mampu mempersatukan anggota keluarga secara kondusif serta mampu menjaga keharuman nama keluarga. Hal ini menjadi salah satu motivasi bagi pendiri bisnis untuk tetap mewariskan tampuk pimpinan perusahaannya kepada anggota keluarga mereka.
IV. Proses Suksesi
Dalam siklus yang natural, pendiri perusahaan harus menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada penerusnya. Ada empat pilihan yang menjadi alternatif, yaitu:
1. Menyerahkan kepada anggota keluarga yang biasa disebut sebagai putra mahkota. Contohnya, hal ini dilakukan pada grup Konimex, dimana posisi pimpinan perusahaan sudah diserahkan oleh Djoenaedi Joesoef kepada putranya Edijanto Joesoef.
2. Menyerahkan kepada professional. Contohnya, hal ini dilakukan pada grup Kalbe, dimana posisi pimpinan diserahkan kepada Johannes Setijono.
3. Tetap memegang saham, namun keluarga berbisnis yang lain. Contohnya yang dilakukan konglomerat Orde Baru, Sudwikatmono. Keempat anaknya mengembangkan jaringan bisnisnya sendiri.
4. Menjual saham dan membagi warisan. Mungkin tidak ada perusahaan keluarga yang merencanakan model ini. Kalau pun terjadi, mungkin karena sang pemilik meninggal dunia dan tidak ada keturunannya yang ingin meneruskan.
Pada tulisan ini, pembahasan akan dilakukan pada proses suksesi tipe pertama yaitu menyerahkan tongkat estafet kepemimpinan kepada anggota keluarganya sendiri. Tugas mempersiapkan anggota keluarga untuk mengemban posisi pimpinan perusahaan tidaklah mudah. Tuntutan akan kemampuan profesionalisme dan manajerial terkadang tercampur baur dengan emosi dan kepentingan keluarga. Untuk mempersiapkan para successor ini pun membutuhkan proses yang memakan waktu bertahun-tahun. Proses ini banyak memakan korban, namun tidak sedikit pula perusahaan yang berhasil. Di Jepang, ada perusahaan keluarga yang terus hidup dan berkembang selama 40 generasi, yaitu bisnis hotel yang didirikan Hoshi pada tahun 717. Di Indonesia, yang iklim bisnisnya masih tergolong muda, grup Sampoerna mampu bertahan sampai generasi ke empat, sebelum akhirnya menjual saham mereka ke Phillip Morris. Generasi ke tiga pun sudah mulai berkiprah di beberapa grup bisnis keluarga, seperti Grup Sosro, Bakrie,dan Djarum.
Berikut ini adalah tahapan yang harus dilalui dalam proses suksesi menurut Justin G Longenecker dan John E. Schoen.
Tahap I: Pre Business Stage
Pada tahap ini, calon penerus mulai bersinggungan dengan bisnis keluarga sebagai bagian dari proses tumbuh kembangnya. Belum ada rencana formal yang pasti untuk menjadikan sang anak sebagai successor di perusahaan. Namun hal ini menjadi landasan dalam pembentukan karakternya yang akan berpengaruh pada proses suksesi di kemudian hari. Pada tahap inilah, Feny Susanto yang masih balita sering diajak ke toko ayahnya yang merupakan pimpinan grup Alfa.
Tahap II: Introductory Stage
Tahapan ini melibatkan pengenalan dini mengenai perusahaan kepada calon penerus. Seperti pengenalan terhadap orang-orang yang terlibat dalam perusahaan, peralatan-peralatan yang dipergunakan oleh perusahaan dan produk yang dihasilkan serta dijual oleh perusahaan, dan sebagainya.
Tahap III: Introductory Functional Stage
Pada tahap ini, calon penerus mulai bekerja paruh waktu di perusahaan keluarga. Seperti Feny Susanto yang selalu membantu di toko setiap liburan sekolah. Tahapan ini juga termasuk pendidikan formal dan pengalaman organisasi yang diperoleh sang calon penerus.
Tahap IV: Functional Stage
Tahapan ini dimulai saat calon penerus mulai bekerja secara full-time, biasanya setelah menyelesaikan pendidikan formalnya. Biasanya pada tahap ini, mereka bekerja pada posisi entry-level atau asistant, dan di rotasi di beberapa bagian untuk mendapatkan pengalaman yang menyeluruh.
Tahap V: Advanced Functional Stage
Pada tahap ini sang calon penerus sudah memiliki kemampuan professional yang cukup baik sehingga dipromosikan ke posisi manajerial. Pada posisi ini, mereka dipercaya untuk mengelola sebagian dari perusahaan, misalnya suatu departemen.
Tahap VI: Early Succession Stage
Tahapan ini terjadi saat sang calon penerus menjabat sebagai Direktur Pengelola ataupun Presiden Direktur. Namun pada penerapannya, masih sebagai pimpinan, secara de jure. Mereka telah dipercaya mengelola perusahaan, walaupun masih di bawah pengawasan ketat dari orang tua mereka. Kemampuan memimpin tidak dapat diturunkan semudah posisi pemimpin itu sendiri. Sang penerus masih harus belajar banyak dalam memimpin seluruh perusahaan, dan sang pendahulu masih ragu untuk memberikan seluruh wewenang untuk mengambil keputusan. Hal ini yang terjadi sekarang pada Feny Susanto di grup Alfa yang membawahi 20 ribu karyawan.
Tahap V: Mature Succession Stage
Pada tahap ini, proses transisi kepemimpinan telah berlangsung secara tuntas. Successor telah diangkat sebagai pimpinan perusahaan secara de facto. Tahap ini biasanya terjadi dua-tiga tahun setelah tahapan sebelumnya.
Tidak semua proses suksesi dapat berjalan mulus. Banyak pula calon penerus yang justru hengkang dari perusahaan saat proses suksesi ini berlangsung. Hal ini biasanya terjadi karena konflik yang berkelanjutan dengan sang pendahulunya. Demi kelangsungan hidup perusahaan, banyak pula pendiri yang memilih untuk mengangkat profesional sebagai penggantinya. Penerus perusahaan dari luar ataupun keluarga sendiri semuanya dapat menjadi positif, tergantung dengan kebutuhan perusahaan dan kesiapan pemiliknya.
V. Kesimpulan
Bisnis keluarga seperti pedang bermata dua. Di satu sisi dapat mengangkat derajat keluarga. Di sisi lain, menyimpan potensi konflik yang justru dapat memecah keluarga tersebut. Keputusan untuk bergabung dengan perusahaan keluarga sebaiknya didasari oleh pengetahuan yang cukup mengenai bisnis serta dinamika yang akan dihadapi, dan bukan hanya keputusan emosional atau keterpaksaan belaka.
Profesionalisme yang baik sangat dibutuhkan dalam semua bisnis, tidak terkecuali dalam perusahaan keluarga. Namun karena dinamikanya yang unik, suatu bisnis keluarga membutuhkan pemimpin dengan kompetensi khusus yaitu kompetensi akomodatif yang mampu mempersatukan anggota keluarga secara kondusif.
Secara umum, proses suksesi dalam perusahaan keluarga dilakukan kepada generasi penerus yang merupakan keturunan langsung dari pendiri. Namun dalam beberapa kasus, karena alasan yang kuat, tampuk kepemimpinan diberikan kepada pihak profesional. Kedua hal ini bisa jadi positif, tergantung dari kebutuhan perusahaan serta kesiapan pemilik dalam menghadapi konsekuensi dari keputusan suksesi tersebut.
Daftar Pustaka
Justin G Longenecker, Carlos W Moore, J William Petty, Leslie E Palich, “Small Business Management – an Entpreneurial Emphasis”, South-Western, Internatioanl Edition, 2006.
SK. Zainuddin, Yus Husni Thamrin, “Rising to the Challenge”, Globe Asia, Vol. Number 4, May 2007.
Teguh Pambudi, “Sebuah Keniscayaan Bernama Suksesi”, SWA Sembada, No. 12/ XXIII/ 4, 13 Juni 2007.
Firdanianty, “Beginilah Cara Mereka Bersuksesi”, SWA Sembada, No. 12/ XXIII/ 4, 13 Juni 2007.
Teguh Pambudi, “Merevisi Paradigma Bisnis Keluarga”, SWA Sembada, No. 10/ XIX/ 13, 27 Mei 2003.
Henni T Soelaeman, “Kepemilikan Saham Boleh Berceceran, Asal...”, SWA Sembada, No. 10/ XIX/ 13, 27 Mei 2003.
Joseph Weber, Louis Lavele, Tom Lowry, Wendy Zellner, Amy Barret, “Family, Inc”, BusinessWeek, No.3857, November, 20, 2003.
Tentang Penulis:
Safitri Siswono, ST., MM adalah alumni Prasetiya Mulya Business School, Program Eksekutif Muda Angkatan 8. Pernah bekerja di PT. Unilever Indonesia, Tbk dengan posisi terakhir sebagai Business Development Manager. Tahun 2004, mendirikan perusahaan yang bergerak di bidang consumer foods, PT. Ciptafood Makmur Mandiri. Selain itu, juga memimpin perusahan keluarga PT. Arthaguna Ciptasarana.
klik untuk SUMBER