Pulau Yang Pelan-Pelan Habis Terjual
Bali pulau terapung ini memiliki seribu kisah tentang tanah muasalnya. Akan tetapi tak pernah diketahui siapa gerangan manusia pertama menginjakkan kaki di pulau yang dianggap surga dunia ini. Namun demikian, teks Tantu Panggelaran menuliskan; seorang pertapa bernama Mpu Mahapalyat menerangkan diri berasal dari sebuah pulau yang berpenduduk orang-orang halus—dan pulau itu terletak di sebelah timur pertapaan Kaliasem, Jawa Timur. Th Pigeaud, peneliti sastra Jawa Kuna mengamini bahwa, pulau yang dihuni makhluk halus itu bernama Bali—setidaknya kesimpulan ini dinyatakan setelah Pigeaud membaca teks Tantu Panggelaran dan Kidung Surapati.
Nun lebih dari seribu tahun silam, seorang suci bernama Rsi Markandheya, datang ke Bali hendak mencari tanah baru. Dari pertapaan Wukir Damalung, di Pegunungan Dieng, Jawa Tengah ia membawa serta 800 orang pengikut. Sayang usaha membuka hutan di tanah baru gagal, banyak pengikutnya mati terserang wabah. Tapi ada pendapat lain, menilai kedatangan Markandheya ke Bali mendapat perlawanan sengit dari penduduk setempat—karena itu ia memilih kembali ke Jawa. Dari peristiwa arus balik Rsi Markandheya inilah pulau impian itu diberi nama “Bali” yang artinya kem-Bali.
Kendati demikian, Markandheya tak pula jera, untuk yang kedua kali ia datang ke Bali. Kali ini ia membawa rombongan lebih basar. Perjalanan menembus hutan belantara. Dikisahkan rombongan sampai di kaki Tolangkir atau Gunung Agung. Di situ Markandheya berhasil menanam Panca Datu, lantaran tempat ini dianggap suci. Lagi pula sejak zaman purba kaki GunungTolangkir sudah terbangun punden berundak, tempat orang Bali memuja roh leluhur. Tempat menanam panca datu itu kemudian disebut Basukih atau Besakih — Pura terbesar milik orang Bali. Markandheya berserta pengiringnya lalu melanjutkan perabasan hutan dan mulai membagi-bagikan tanah. Tempat di mana Markandheya membagi-bagikan tanah itu kini disebut Desa Puakan. Kata “puakan” sendiri dalam bahasa Bali kuna berarti pembagian.
Inilah kisah-kisah awal pengembaraan para suci mencari tanah baru. Dalam perjalanan abad nan panjang Bali memang kerap didatangi gelombang manusia yang hidupnya boleh jadi masih nomaden. Banyak orang suci datang ke Bali dengan niat menemukan daerah baru, di sini ia pembangun wanua atau desa-desa baru. Di wilayah baru pula mereka mendirikan tempat-tempat suci, pertapaan, katyagan (pedepokan).
Memasuki zaman sejarah yang panjang, Bali seperti ditakdirkan menjadi pulau penaklukan demi penaklukan. Pada tahun 1285 misalnya, nyaris bersamaan dengan peristiwa Pamalayu, penaklukan Sumatra, Raja Kertanegara juga mengirim ekspedisi ke Bali, ia berhasil mendudukan Patih Kebo Parud sebagai penguasa Bali.
Kisah penundukkan tanah Bali tak berhenti sampai di sini. Di era setelah pendudukan Raja Kertanegara, Bali pun digoncang imperium besar Majapahit. Sri Asta Sura Bumi Banten, raja Bali yang naik tahta tahun 1337 dibuat tak berdaya oleh Raja Hayam Wuruk, dikomandoi Maha Patih Gajah Mada. Gajah Mada yang diutus Hayam Wuruk ke Bali menghadapi tantangan besar, ia sedikit was-was, sebab Raja Bali, Sri Asta Sura Bumi Banten juga mempunyai patih amat tangguh bernama Kebo Iwa. Demi menguasai tanah Bali, Gajah Mada tak kurang tipu daya. Ia datang menghadap raja Bali di Bedahulu— memohon agar Kebo Iwa diijinkan ke Jawa, alasannya hendak dinikahkan dengan seorang putri dari Lemah Tulis.
Dalam perjalanan ke Jawa, Kebo Iwa beberapa kali kena muslihat Gajah Mada, di tengah lautan perahunya beberapa kali dikaramkan. Dan Kebo Iwa dengan segala kekuatan mesti berenang untuk bisa sampai di Banyuwangi. Setiba di Banyuwangi Kebo Iwa dititipkan pada seorang Arya, pejabat Majapahit di Banyuwangi. Sementara Gajah Mada pergi menghadap Ratu Tribuwana Tungga Dewi. Pada raja, Gajah Mada menyampaikan muslihatnya untuk menghabisi nyawa Kebo Iwa—ia lalu dijemput ke Banyuwangi, dipertemukan dengan putri Lemah Tulis. Betapa mabuk kepayang Kebo Iwa memandang kecantikan Putri Lemah Tulis.
Sebelum upacara pernikahan, Putri Lemah Tulis meminta pada Kebo Iwa untuk dibuatkan permandian, saat tengah menggali tanah Kebo Iwa diserang secara tiba-tiba, dihujani, dilempari batu-batu karang pasukan Majapahit. Sebelum dibunuh Kebo Iwa pun melakukan perlawanan sengit, tapi segera ia sadar, bahwa dirinya telah ditipu. Kebo Iwa malu balik ke Bali, ia memilih mati, menyerahkan nyawanya pada Gajah Mada. Sampai di sini tamatlah riwayat orang besar Bali bernama Kebo Iwo. Bali tinggal menunggu waktunya menjadi tanah jajahan Majapahit. Setidaknya begitulah sastra babad mencatatkan seteru itu, penuh kecamuk dan darah yang tercecer.
Benar, setelah Kebo Iwa terbunuh, tepat pada tahun 1343, Gajah Mada dan para Arya mulai melakukan serangan dari arah Bali Timur. Armada Majapahit mendarat di Toya Anyar (Tianyar) dihadapi pasukan Bali dipimpin Ki Tunjung Tutur yang gagah perkasa. Menghadapi gelompang pasukan sedemikian besar, pasukan Bali mengalami kekalahan. Sementara Ki Kopang gugur dalam mempertahankan Seraya di sebelah timur Tolangkir, dengan otomatis Seraya pun dikuasai tentara Majapahit.
Arya Damar segera melakukan pendaratan di pantai Bali Utara, dibantu pasukan Arya Sentong dan Arya Kutawaringin. Pasukan Bali dipimpin Ki Girikmana gugur ditebas pedang Arya Damar, gagal mempertahankan daerah Ularan, Bali Utara. Begitu juga Ki Buahan tak kuasa mempertahankan daerah Batur, ia dibunuh kepala pasukan bernama Arya Kutawaringin.
Arya Kenceng, didampingi Arya Belog, Arya Pangalasan, Arya Kanuruhan mendarat di pantai Seseh, Kuta, Bali Selatan. Ki Tambyak yang memimpin pasukan Bali di daerah Jimbaran dipenggal Arya Kenceng. Begitu pula dengan Demung Ki Gudug Basur, tewas di tangan tentara Majapahit, sehingga pasukan Bali lari kocar-kacir. Menerima kekalahan ini pasukan Bali yang tinggal di ibukota menyerah, begitu juga pasukan Ki Pasunggrigis yang tinggal di Tengkulak tak bisa berkutik. Kendati di sana-sini masih ada pemberontakan dari orang-orang Bali Aga, Bali berangsur-angsur berada di bawah kendali Majapahit. Dan tamatlah riwayat Sri Asta Sura Bumi Banten—raja Bali terakhir yang pernah berdaulat didampingi Patih Kebo Iwa.
Di bawah kendali raja-raja trah Majapahit— terutama di zaman Raja Waturenggong (1460-1550) Bali pernah dinyatakan dalam kondisi sangat stabil, menyatakan diri sebagai negara yang merdeka, mengingat pada tahun 1478 Majapahit sudah runtuh. Begitu Dalem Waturenggong wafat, ketidakstabilan terjadi di Gelgel, usaha-usaha kudeta yang diawali Kriyan Batan Jeruk kian memburamkan dinasti Smara Kepakisan di Bali. Dan setelah memasuki era Klungkung, Bali berangsur-angsur pecah menjadi delapan kerajaan yang tiada henti bertikai berebut kekuasaan, yang nota bene juga berebut wilayah.
Setelah Bali pecah menjadi delapan kerajaan, tidak ada lagi kekuasan penuh yang memegang utuh tanah Bali. Kedatangan Belanda dengan politik adu domba kian memperkeruh situasi—serta-merta dengan beragam taktik dan intrik secara perlahan raja-raja lokal pun dibuat takluk Belanda. Alih-alih setelah adat tawan karang, hukum kedaulatan kerajaan atas wilayah dipreteli, Belanda pun dengan mudah mencengkram tanah Bali. Kekalahan Klungkung dalam perang puputan April 1908 menandakan tanah Bali secara penuh dikuasai kolonial Belanda, menyusul cengkraman kejam penjajahan Jepang tahun 1942— yang pada mulanya sempat berolok-olok menyatakan diri sebagai pembebas bangsa-bangsa Asia dari tekukan kolonialisme.
Apakah setelah terusirnya penjajah dari tanah Bali terlindungi dari penguasaan kekuatan asing? Setelah zaman kemerdekaan, alih-alih memasuki zaman orde baru, meminjam istilah sejarawan Belanda Henk Schute Nordholt, Bali benar-benar menjadi benteng terbuka, benteng yang begitu rapuh dari ‘serangan” pemodal luar, dan terlalu sibuk mengunci diri dengan aturan adat yang sudah kedaluwarsa.
Ketika “kran” turis dibuka lebar-lebar untuk tanah Bali yang ringgkih ini, infrastruktur pariwisatapun dibangun— modal luar mengalir dengan deras ke Bali, industri pariwisata menelan ribuaan hektar tanah Bali. Tengoklah apa yang kini tengah menggerus destinasi pariwisata Bali, mulai dari Ubud, Payangan, Kuta, Kerobokan, Canggu, Tibubeneng, Jimbaran, Nusa Dua, Tanah Lot, dan lain sebaginya—wilayah-wilayah ini kini sepenuhnya dikuasai pemodal luar, sehingga hutan-hutan beton di pusat-pusat kota pun tak terhindari. Subak warisan dunia satu-satunya tinggal menunggu poranda. Bahkan sudah poranda.
Kisah penundukan di muka bumi ini sejak zaman purba memang dimulai dari penguasaan atas tanah. Dengan beragam cara tentu. Ada lewat cara perang, ada pula dengan cara diplomatis. Para musafir Eropa misalnya, awalnya datang hanya untuk mencari rempah, kemudian menjalin kerja sama dengan raja-raja lokal, lalu memaksakan sebuah perjanjian yang berat sebelah. VOC misalnya, paham raja-raja lokal itu sangat lemah, ia kemudian mengadu domba raja-raja lokal. Maka, perang antar raja-raja lokal pun terjadi. Ia lalu datang menjadi penengah, menjalin kerjasama lebih luas dalam perjanjian dagang. Hak istimewa penguasaan wilayah, penguasaan pelabuhan, pembangunan gudang hingga tanam paksa adalah siasat politik bagaimana tanah Nusantara ini dijajah.
Meskipun hari ini VOC telah anumerta, praktik-praktik penguasaan tanah nyaris sama modusnya. Kerap untuk memuluskan bisnis di suatu wilayah para pemodal itu harus melahirkan penguasa boneka, penguasa yang gampang diajak bekerjasama, mengamankan semua gurita bisnis mereka, dengan segala kemudahan. Biasanya pemodal ini menanggung seluruh atau sebagian beaya yang membuat mereka terpilih jadi penguasa. Entah itu bupati atau gubernur. Drama pemahlawanan tokoh pun dikemas apik. Pesta bantuan datang bertubi ke masyarakat, sang calon penguasa disambut layaknya raja diraja, dielu-elukan sebagai penyelamat pulau, memberi harapan kesejahteraan bagi semua. Begitulah terjadi di pulai ini pula. Begitulah penguasaan tanah dilakukan.
Ki Jalu Nismara